Cerita di Balik Nilai Ekspor Kelautan dan Perikanan yang Melonjak

dfw-5172-jpg-59f882548dc3fa69e7292bc2
Produk kepiting olahan siap ekspor milik GMCP Gresik (foto: Kamaruddin Azis)

Tren positif dampak kebijakan Kelautan dan Perikanan nasional pada nilai ekonomi dapat dilihat sejak bulan-bulan pertama di tahun 2017. Pemerintah merilis bahwa produksi kelautan dan perikanan tangkap laut nasional di semester I 2017 menunjukkan signifikansi kenaikan. Ada lonjakan drastis.

Hasil tangkapan laut mencapai 3,35 juta ton, naik 11,3 persen dibandingkan periode sama tahun 2016 yang sebesar 3,01 juta ton (BPS/Pusdatin-KKP). Hal tersebut disebut berdampak pada Produksi Domestik Bruto (PDB) sektor perikanan atas harga berlaku tumbuh 11 persen dari Rp 152,91 triliun pada semester I 2016 menjadi 169,76 triliun pada semester I 2017. Demikian data Badan Pusat Statistik (BPS).

Disebutkan pula bahwa berdasarkan PDB harga konstan, sektor perikanan tumbuh 6,8 persen. Lonjakan tersebut oleh Pemerintah karena konsistensi dalam pemberantasan praktik penangkapan ikan illegal, tak dilaporkan serta tak sesuai aturan (illegal, unreported, unregulated/IUU fishing) sejak Jokowi berkuasa tahun 2014.

Lebih dari itu, capaian penting dan membanggakan tersebut juga berkorelasi pada nilai PNBP KKP pada 2016 yang mencapai Rp 462 miliar atau tertinggi dalam sejarah. Jadi dengan pemberantasan IUU fishing telah berkontribusi pada penyelamatan uang negara serta perbaikan penerimaan pajak dan PNBP.

Nilai ekspor melonjak

Jelang tutup tahun 2017, indikasi positif tersebut terus terjaga dan menggairahkan harapan para pihak yang ingin melihat Indonesia berjaya di lautan. Setidaknya jika mendengarkan paparan Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan, KKP, Nilanto Perbowo di depan belasan awak media.

Nilanto membeberkan kabar baik tren produk kelautan dan perikanan selama kurun waktu Januari hingga Oktober 2017 dengan menyebutnya sebagai ‘Profil ekspor-impor hasil perikanan periode Januari – Oktober 2017’.

“Tren nilai ekspor hasil perikanan Indonesia mengalami peningkatan. Ini cenderung lebih tinggi dibandingkan beberapa negara pesaing, seperti Thailand, Vietnam, China dan Filipina,” katanya.

Menurut Nilanto, penurunan volume ekspor tersebut tidak mempengaruhi peningkatan nilai ekspor. Terdapat beberapa alasan atas peningkatan tersebut. Di antaranya, karena meningkatnya harga produk di pasar ekspor. Yang kedua adalah adanya nilai tambah pada produk.

“Atau bisa jadi produk yang mengalami penurunan volume berasal dari produk yang memiliki harga rendah atau under value,” tambahnya.

Hal itu, menurut Nilanto, dapat dipahami dengan melihat tren sebelumnya. Pada tahun 2014, produk dengan HS 030369000, 0303891999 (kategori ikan laut lainnya) memiliki volume 49 ribu ton dengan nilai ‘hanya’ USD 81 juta sehingga harga rerata setara USD 0.5 perki;ogram.

“Dari jumlah tersebut 84% berasal dari Maluku, dengan volume 126 ribu ton dan bernilai USD 53,6 juta, harga rerata USD 0.4 perkilogram dengan negara tujuan Thailand (88%) dan China 10%, dan pada tahun 2015 menurun menjadi 3.147 ton atau turun 97.5%  dibanding 2014,” sebutnya.

Menggunakan contoh Maluku ini menjadi basis rujukan yang logis sebab di sekitar Maluku termasuk Maluku Utara beberapa industri perikanan yang menggunakan armada asing tentu sangat terpapar kebijakan strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut.

Nilanto juga menyatakan bahwa komoditas utama meliputi udang, tuna-tongkol-cakalang (TTC), rajungan-kepiting (RK), cumicumi-sotong-gurita (CSG) dan rumput laut (RL) dengan proporsi terhadap total sekitar 76.6% (nilainya) atau 67.3% pada volumenya dengan tren pertumbuhan positif 8.7% pada nilai dan 3.77% pada volume pada periode Januari – Oktober tahun 2016 dan 2017.

Sejauh ini negara tujuan utama ekspor produk kelautan dan perikanan adalah Amerika Serikat, Jepang, negara-negara anggota Asean, China dan Uni Eropa dengan proporsi terhadap total sekitar 85.3% pada nilai dan 84.6 pada volume dengan kecenderungan pertumbuhan menjadi positif 8.18% pada nilai atau 0.19% pada volume pada periode Januari – Oktober tahun 2016-2017.

Pada paparan tersebut dikutip juga tren nilai, volume dan harga ekspor bulanan meningkat pada rentang Januari 2012 hingga Oktober 2017.

Beberapa di antarnya adalah terkait nilai bulanan ekspor, impor dan neraca perdagangan masing-masing yang naik sebesar 1,7%, 4.3% dan 1.7% dengan nilai rata-rata persentase nilai impor terhadap nilai ekspor sebesar 10.4%.

Salah satu yang menarik adalah bahwa pada rentang itu, tren rata-rata harga bulan ekspor mengalami peningkatan dengan harga rerata sekitar USD 3.63 per kg. Informasi ini bersumber ke BPS dan diolah oleh Ditjen PDS-KKP pada 474 produk HS 10 digit 2012.

Demikian pula tren ekspor tahunan yang meningkat pada rentang 2012 hingga 2016.

“Nilainya naik 2.45%, impor turun 1.89%, neraca naik 3.05%. Rata-rata persentase nilai impor berbanding nilai ekspor sebesar 10.36%. Sementara volume ekspor turun 3.23%. volume impor turun 6.9%, rata-rata persentase volume impor berbanding volume ekspor sebesar 27.10%” lanjut Nilanto.

Tren tersebut menurut Nilanto bisa jadi karena meningkatnya harga ekspor, adanya nilai tambah produk, hingga produk berharga rendah.

Pada pemaparan tersebut beberapa hal yang juga diungkap adalah status Tuna-Tongkol-Cakalang yang masih satu paket dalam penamaan produk. “Sampai saat ini kita masih belum bisa mengeluarkan, misalnya jenis tongkol dari TTC. Cakalang pun, masih dalam bentuk frozen, tetap disebut sebagai TTC,” kata Nilanto.

“Direktorat kami akan mengusulkan, beberapa jenis seperi albacore big eye, akan kita pisahkan dengan cakalang, ini pada kode HS itu,” katanya terkait masih adanya ketidakjelasan dalam kategori, spesifik produk pada potensi unggul Indonesia seperti tongkol dan cakalang.

Urusan sinkronisasi data produk perikanan ini terhubung antara KKP dan BPS namun tetap merujuk pada UN COMTRADE (publikasi ITC yang diunggah pada 9 Agustus 2017). Hal tersebut dirangkum pada penilai tren pertumbuhan nilai pertumbuhan ekspor Indonesia yang meningkat lebih tinggi dibanding beberapa negara pesaing pada periode 2012-2016.

“Indonesia naik 2.32% per tahun, China 2.29%, Viet Nam hanya 1,45%, Filipina naik 0.32% sedang Singapura turun 0.32%, Malaysia turun 3,52% serta Thailand turun hingga 7.73% per tahun,” sebutnya.

Tak hanya itu, Nilanto juga menyebut pertumbuhan neraca perdagangan Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara tersebut.

“Kita naik 2.67%, China hanya 0,60%, Thailand, Viet Nam dan Filipin turun,” tambahnya mantap.

“Yang juga menarik adalah nilai tambah itu, ada tren positif bahwa industri dalam negeri semakin banyak yang melakukan ekspor tidak dalam gelondongan, tetapi dalam bentuk loin, stick atau fillet. Apabila ini akan terus berlangsung maka nilai ekspor akan semakin naik lagi,” kunci Nilanto.

dfw-5184-jpg-59f88208a208c040356c9072
Suasana di GMCP Gresik (foto: Kamaruddin Azis)

Mengintip salah satu eksporter Rajungan di Gresik

Dear pembaca, relevan dengan capaian tersebut di atas, dimana salah satu produk ekspor adalah kepiting rajungan, ada baiknya kita melongok salah satu unit usaha perikanan yang menyasar pangsa ekspor.

Namanya PT Graha Makmur Cipta Pratama (GMCP). Dia adalah perusahaan pengekspor produk olahan kepiting rajungan yang berbasis di Gresik.  GMCP adalah anak usaha Indokom Group yang berdiri sejak 1994.

“Awalnya, kita bergerak di bidang ekspor kopi dan udang, namun sekarang sudah masuk ke bisnis rajungan, khususnya rajungan biru. Ada dua dua pabrik pengolahan kepiting, di Purwakarta dan Gresik ini,” kata Hengki Adi, manajer senior GMCP saat ditemui beberapa waktu lalu di di kantornya di Jl. Industri 29 A Buduran Gresik, Jawa Timur.

Langganan dekat GMCP adalah perusahaan-perusahaan penerima dari Amerika Serikat atau dengan kata lain, pasarnya ada di Negeri Paman Sam dan sebagian besar pemasoknya tersebar di seluruh Indonesia. Produk yang disebutkan sebelumnya adalah andalan GMCP. Bukan hanya di Jawa, seperti Cirebon atau Indramayu tetapi juga dari timur Indonesia termasuk Papua.

“Kepiting olahan kami diminati pasar Amerika,” kata Hengki sembari menunjukkan kaleng-kaleng yang sudah diberi label dan menandakan nama perusahaan dan isinya. Tersebutlah tipe jumbo, flower hingga yang disebut ‘colossal’.

“Di Amerika, kepiting rajungan biru asal Indonesia sangat diminati. Ada yang jadi crab cake, semacam produk yang dikonsumsi dengan tepung roti, gandum,” katanya. Menurut Hengki bisnis kepiting rajungan tujuan Amerika unik dan tidak mudah. Produk-produk ‘second grade’ pun tak bisa sembarangan dijual.

Selain berharap uji kompetensi dapat memastikan kualifikasi dan kompetensi karyawannya, Hengki mengatakan bahwa peran Pemerintah sebagai regulator termasuk universitas telah sangat membantu untuk pengembangan teknologi.

Hengki juga berharap ada perlakuan khusus sebab selama ini perusahaannya tidak sama dengan perusahaan manufaktur. “Kami hanya packer saja sebetulnya sehingga perlu ada penyesuaian-penyesuaian terutama pada UMK,” imbuhnya.

“GMCP hanya packing, menjaga suhu, dari kontainer hingga di kapal. Nggak boleh dibekukan, jadi kita produk fresh, bukan frozen, maksimal 4 atau 5 derajat saja,” katanya terkait proses pengolahan produk hingga penanganan dan pengiriman. Perusahaan harus memastikan pengiriman barang dengan menyiapkan kontrol suhu hingga tiba di forwarder, hingga Amerika.

“Demikian pula pembayaran, yang 50% menyusul kemudian. Jadi selama ini kita ngutangin mereka. Padahal kalau ada masalah, 100% jatuhnya di kita,” sebutnya.

“Kita pernah membuang satu kontainer, gara-gara ada persepsi salah paham. Kita ke UK namun kita tidak menyertakan European Number (EU) number, kita diminta harusnya registrasi tiap kaleng, padahal kalau di Amerika cukup didaftarkan 1 kontainer dan masing-masing kode kita tempelkan saja,” katanya.

“Karena kita baru pertama ke sana, kesalahan harusnya bukan di kita. Akhirnya barang dihancurin di sana. Nilainya 3-4 miliar,” katanya tersenyum tipis.

20171215_171030
Nilanto Perbowo di konferensi pers PDS-KKP (foto: Kamaruddin Azis, 15/12)

Produk olahan GMCP dikirim ke Amerika membutuhkan waktu perjalanan sekitar 35-36 hari di luar proses pengolahan di pabrik dan gudang. Harga produk olahannya sangat tergantung pada hari-hari tertentu atau perayaan. Misalnya, harga membaik kalau memasuki hari Natal, tahun baru, maupun perayaan tahun baru China.

“Jadi pada saat tinggi kita lepas, sayangnya kontainer jarang penuh, apalagi jika ada banyak produk broken. Kalau lepas atau keluar dar bulan PO, maka kita rugi, kalau volume sedikit, ya itu tadi, karena kepiting hasil cantrang hampir semuanya tak utuh,” katanya.

“Kami selalu ingin membuktikan bahwa kami melalui proses yang baik di tingkat lapangan, jadi tidak sembarangan,” katanya sambil menyebutkan sekurangnya 4 perusahaan penampung di Amerika seperti Bosch, Bay Colony.

Meski demikian, Hengki sadar betul bahwa ancaman bagi rajungan adalah jumlahnya yang kian berkurang. Intensitas penangkapan berdampak pada populasi kepiting rajungan di laut.

Statusnya sebagai komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan diekspor ke ragam negara seperti Amerika dan Eropa maupun Jepang atau Hongkong membuatnya perlu mendapat perhatian untuk konservasi atau setidaknya melalui budidaya.

One thought on “Cerita di Balik Nilai Ekspor Kelautan dan Perikanan yang Melonjak

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.