Jejak Dagang Muhammad Attas, dari Musi Banyuasin hingga Pasangkayu

Muhammad Attas (dok: istimewa)

Muhammad Attas telah 12 tahun meninggalkan Kota Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Pada lebih satu dekade itu, dia telah berjibaku tantangan, harapan, suka duka demi meretas nasib baik. Segala jenis usaha telah dicobanya sebelum bisa sebegini membanggakan, setidaknya jika dibandingkan ketika harus berjualan sayur-mayur dan menabung rerata 50 ribu perhari.

Kepada penulis, pemilik Toko Ilham Elektronik itu berbagi kisah perjalanan hidupnya kala ditemui di rumahnya di sekitar Poros Mamuju – Pasangkayu, di Desa Malei, Kecamatan Pedongga, Pasangkayu, (10/10).

***

Pagi baru saja dimulai di Pedanda. Lelaki usia 40 tahun itu mengisap rokok dengan perlahan. Kue-kue khas Bugis seperti apang dan dadar sedia di meja. Segelas teh hangat menjadi pengusir kantuk penulis setelah semalaman melata di Trans Sulawesi.

Meski mengaku Bugis Wajo nan tulen, dia lahir di nun jauh di barat Indonesia, di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.  Attas menerawang ke masa mudanya. Saat itu, dia merasa kesulitan menyelesaikan pendidikan SMA-nya. Dia lebih tertarik berdagang.

“Apalagi saat itu adik-adik saya masih kecil,” katanya membuka obrolan.

“Sebelum punya toko elektronik ini, apa pekerjaan sebelumnya?” tanya penulis.

“Hampir semua pekerjaan,” katanya tertawa. Dia menyebutkan satu persatu. Jadi petani, pekebun kakao dan sawit, jualan sarung, ikan asin, sayur-sayuran, asesoris telepon genggam, hingga bisnis TV kabel!

Saat ini, Attas mengisi hari-harinya dengan mengelola pusat penjualan elektronik di Kampung Pedanda.  Hal yang menurutnya penuh liku dan terwujud karena kesabaran dan kepercayaan yang telah ditunjukkan ke mitra kerjanya selama ini.

Di rumah yang bersebelahan dengan tokonya itu, ada ayahnya yang bernama Asri Naka serta ibunya Indo Masse. Rumahnya berjarak sekira 10 kilometer dari Kota Pasangkayu.

“Barang-barang ini dari Palu. Ada suplai karena ada bos dari Palu, dari gudang elektronik di Palu,” katanya. Barang yang dimaksud ada di ruang tamu. Dia membelakanginya.

Menurutnya, sejak masuknya listrik dari PLN ke Mamuju Utara sekitar tujuh tahun lalu, animo masyarakat setempat untuk mempunyai barang ektronik menjadi ide untuk Attas berbisnis barang elektronik. Dia pun terhubung dengan pengusaha di Palu dan memberinya kemudahan untuk itu. Yang dijual macam-macam ada AC biasa, AC Polytron, pengeras suara, televisi.

“Satu led TV harganya tergantung dari inchi-nya. Mulai 20 inch, harganya bisa 1,5 juta,” katanya. Dia merasa bisnis ini sangat prospektif sebagai bukti di rentang tahun 2017 dia berhasil menjual hingga 16 unit. Dia pun dapat bonus mobil pickup dari perusahaan induk.

“Setiap toko saat itu ditarget 12 kupon, kebetulan saya dapat 16 kupon. Dari situlah saya dapat hadiah mobil  meski harus bayar 20 juta untuk ongkos pengirimannya,” kata pria yang sudah beberapa kali pindah lokasi usaha ini.

“Kalau toko ini sudah lima tahun, kalau rumah baru 2 tahun setelah beli lahan,” katanya.

“Tapi awalnya, saya memang punya pengalaman berjualan asesoris handphone tapi dari bos yang lain. Akhirnya, sampai ke bisnis ini,” katanya.

Bermula tahun 2004

Attas bercerita bahwa ini semua bermula di 2004. “Bisa disebut jalan-jalan saja sama orang tua tapi kemudian tertarik berkebun. Saat itu berkebun kakao saja, ada lahan kami beli,” katanya. Attas dan keluarga berkebun di sekitar lokasi transmigrasi.

“Tapi yang namanya orang Selatan (Wajo) berkebun tidaklah cukup, karena sudah pengalaman berdagang maka saya jualan pakaian. Sekarang, tidak kebayang saja bisa seperti ini (jualan barang elektronik),” katanya tersenyum.

“Sekarang punya lahan 8 hektar. Waktu itu, murah sekali karena memang hutan. Dasar harga 4 juta per hektar, beli di tokoh adat. Belakangan ini sudah disertifikatkan karena ada Prona sertifikat,” katanya terlihat bangga.

Attas mendapat informasi soal lahan dari para pendatang Bugis yang telah lebih dulu mengolah lahan kakao.

“Tapi baru sampai sekitar dua tahun baru bisa mulai produksi. Pertamanya saya yang tangani, lalu bapak saja,” katanya. Orang tuanya sibuk mengolah kebun kakao sementara dia menanam sayur-sayuran dan menjualnya ke kota.

“Kalau dapat untung misalnya200 ribu, saya tabung 50 ribu,” katanya.

“Kehidupan dan produksi kakao kan lama, makanya harus ada usaha lain,” ujarnya. Kebunnya ditangani oleh keluarganya, butuh tenaga 4 orang termasuk adiknya. Kebun diolah dengan tangan tanpa alat bantu seperti mesin.

“Saat itu masih kakao, belum ada sawit. Karena penyakit kakao, kamudian kami pindah ke sawit. Kira-kira tahun 2010. Dan saat itu ada perusahaan yang kasih bibit,” katanya.

Bugis dari Banyuasin

Keseruan mendengarkan cerita Attas bermula saat dia bercerita kalau saat kecil dia dikirim dari Bayuasin ke Wajo. Ini bermula dari jejak perantauan Attas bersama kedua orang tuanya dan bermula dari para pendahulunya. Ibunya adalah kelahiran Musi Bayuasin. Bertemu ayahnya, Asri, saat sang ayah datang ke Banyuasin karena diajak oleh pamannya yang juga orang Wajo.

Berada di toko Ilham Elektronik (dok: istimewa)

“Keluarga saya banyak di Sengkang, di Siwa, meski saya lahir di Musi Banyuasin,” ungkap pria yang menurutnya kembali ke Sengkang saat masih kecil karena diajak pamannya yang guru.

Menurut banyak catatan sejarah dan riset, jumlah keturunan Bugis-Makassar di Sumatera (termasuk Sumatera bagian selatan) mencapai angka 750 ribu.

Orang tua Attas, Asri Naka ke Sumatera pada tahun 60-an, menjadi petani di usia 20 tahun.

“Saya diajak kakak ipar, menanam padi kemudian berkebun kelapa. Saya ikut ipar bernama Ambo Atte. Di Banyuasin, tidak ada harga tanah,” kata Asri.

Perjalanan Asri ke Palembang bermula dari Wajo ke Makassar dengan menaiki kapal Pelni yang masih terbuat dari kayu.

“Naik kapal Lambo’ Lambo’, kapal Pamakka,” katanya.

Di tahun 1994, Asri kembali ke Wajo dengan menumpang kapal KM Umsini kemudian merantau ke Pasangkayu di tahun 2004. Dia menikah dengan ibu kandung Attas di Musi Banyuasin. Keluarga ibu Attas adalah orang Wajo yang telah lama merantau ke Sumatera.

“Saya berani ke sana karena memang ada keluarga di sana. Masa muda dulu di Siwa, masih ada gerombolan. Di tahun 1969 merantaulah saya ke Sumatera,” sebutnya.

Asri pernah berdagang di Kota Palembang selama hampir dua tahun. “Berdagang barang campuran, sudah itu pulang saya ke Sulawesi,” katanya.

Apa yang dilakukan Asri menurun ke anaknya, Attas.

Segala rupa pekerjaan

“Waktu saya di Wajo, di selatan, kita tidak tahu mau kerja apa lagi. Serba terbatas. Peluang usaha tidak ada, di sii enak sekali. Apalagi kita dapat kepercayaan dengan pembeli dan pemilik modal,” kata Attas.

Meski demikian, Attas sadar bahwa dalam berbisnis ada-ada saja kendalanya seperti pernah ditipu, atau tidak dibayar meski ada pembeli yang janji mau cicil barang. “Dikasih barang tapi tak dibayar,” katanya.

Di tahun 2000-an, masa dimana keluarga Attas di Pedanda adalah masa sulit sebab kawasan itu banyak diterjang banjir. “Banyak yang dari Bugis pulang karena banjir itu,” katanya. Tapi dia dan keluarganya tetap bertahan.

Urutan adik Attas adalah Mutiara yang tinggal di Pasangkayu, lalu Murniati yang kini ada di Kalimantan, menyusul Mulyadi dan nomor 4, ada di rumah satu lagi, yang bungsu Ashar.

“Saya pernah jual ikan, ikan kering. Beli ikan dari empang, kakap, bandeng. Di Kecamatan Pedongga ada banyak tambak. Tapi menjual ikan sifatnya musiman saja,” tambahnya.

“Lalu juga jual pakaian dengan sistem cicilan. Ini yang banyak orang tertarik karena lebih ringan,” katanya.

Saat itu, Attas keluar masuk kampung transmigrasi, kampung yang menurutnya telah dikenal dengan baik. “Di dalamnya itu ada banyak suku, ada Bugis, Jawa, Toraja, kalau tidak salah daerah itu dibuka sebagai lokasi transmigrasi sejak tahun 80-an,” ingatnya.

Ada tiga wilayah yang masuk di Pedanda, yaitu Pedanda Pesisir, Pedanda I dan Pedanda II. Ada ada tidak kurang 2000 KK pada satu kecamatan. Darinya diperoleh informasi bahwa banyak lahan kakao yang telah ditebang dan warga beralih ke tanaman sawit. Selain karena diberi bibit juga karena kakao memang sedang tidak bagus.

“Kecambahnya sawit ada kita tanam, ada pula dari Astra (perusahaan),” kata ayah Attas, Asri Naka.

Attas tidak bisa lupa bagaimana ia mulai ikut berdagang di Sengkang. “Saat itu tahun 1998 di Sengkang, tahun 1998 saya tinggal sama paman, saya kerja di toko pakaian di Sengkang,” katanya.

Jalan hidup Attas juga serupa dengan saudaranya yang lain. Ada yang berdagang di Kota Pasangkayu, ada yang jual beli kopra di Kalimantan, sementara yang keempat ikut menangani usaha TV kabel, sementara yang bungsu juga ikut sama Attas.

Pengalaman Attas berdagang ternyata juga pernah dilakoninya di Luwu, dia pernah keluar masuk Malangke, Mappedeceng bahkan hingga Soppeng.

“Cuma jualan sarung saja. Bukan sarung sutra. Yang murah saja kan kita bisa mahalkan,” katanya sambil tertawa. Selain bawa motor, dia juga kerap membawa sarung dengan naik kendaraan umum seperti bus.

“Lama juga, antara 3-4 tahun saya jadi pedagang sarung, sampai ke Kotaraya, daerah Parigi Moutong, Kendari, Kalimantan, Balikpapan, Samarinda,” katanya.

“Prinsipnya sederhana, tetap kerja keras, pastikan untuk bisa dipercaya,” kata pria yang kini berbisnis televisi kabel, sudah jalan dua tahun dan ditangani oleh adiknya, Mulyadi.

“Dia memang ada bakat ke situ, dia yang pasang atau instalasi kabel. SMP juga tidak tamat. Dia belajar di Google, otodidak,” imbuhnya.

Di usaha itu, Attas mengutip biaya sewa bulanan 25 ribu tiap satu sambungan. “Modalnya bisa sampai 170 juta untuk tiga desa. Pelanggan 300-an, kali 7,5 juta perbulan, jadi ada 5 juta bersih,” rincinya.

Di tangan Attas bisnis ini menjadi mudah sebab dia punya jaringan kerja yang bisa menyuplai kabel dan kebutuhan TV kabel.

“Buka TV kabel juga tidak asal buka, harus lihat ramai tidaknya rumah warga,” katanya.

Investasinya lumayan besar sebab jarak dari rumah ke Pedanda Pantai ada 1 kilometer, kabel yang dipakai didatangkan dari Surabaya.  Dia sangat bergantung pada para pekebun sawit yang ada di Pedanda I dan II serta Pedanda Pantai, uang bisa selalu ada sebab para pekebun wasit ini bisa panen saban waktu.

“Harga sawit perkilo saat ini 700 rupiah, cuma ini enaknya, sepanjang tahun bisa panen, biasanya dua kali sebulan,” katanya.

“Saya bisa maju karena sawit,” imbuh pria yang mengaku telah menikah dua kali, yang pertama dengan perempuan Wajo namun berpisah karena ketidakcocokan setelah dia pindah ke Pasangkayu, istri enggan ikut.

Dia pun berlabuh di perempuan asal Karossa yang juga berdarah Bugis.

Apa yang dilakoni Attas kali ini lebih anteng karena sudah memahami karakter warga juga kesungguhan untuk membayar cicilan seperti televisi atau barang elektronik. Meski begitu dia dia tidak gegabah untuk memberikan kredit.

“Tidak terlalu tinggi marginnya, paling sampai 10% keuntungan yang penting lancar perputaran barangnya,” ujar pria yang mengaku pernah pinjam modal di bank saat ditanya strategi bisnisnya.

Meski demikain, mengingat relasi dan prospek bisnisnya, tokoh Attas di ruas jalan Pasangkayu – Palu itu dilirik perbankan, menjadi simpul kerjasama dengan BRI. Tokonya menjadi gerai ‘BRI Link’, hal yang disebutnya memberinya pendapatan hingga 10 juta berbulan karena transaksi yang ada.

Hal yang dikhawatirkannya saat ini adalah kaum muda yang cepat bosan saat diminat bekerjasama. Dia pernah mempunyai 4 orang pekerja namun saat ini yang bertahan hanya 2. Satu orang Bugis, satunya orang Lombok.

Ada prinsip atau sikap mental yang selalu dijaga Attas. “Saya kira, untuk mengubah nasib, kita harus total. Kalau bukan kita yang mau total, tidak akan berubah,” tegas pria yang mengaku belum pernah kembali ke Wajo (ke selatan) sejak tahun 2004 ini.

***

Matahari semakin tinggi, suasana Pedanda semakin riuh oleh deru mobil yang bergegas ke utara. Ada yang ke Donggala, ke Palu, membawa bantuan pasca gempa dan tsunami.

Saat saya memberi pujian ke Attas dan hendak pamit, Asri, ayah Attas berujar.“Saya sampaikan ke adiknya ini, ndak ada kalai kerja swasta sekarang, guru honor itu tiga bulanpi baru gajian, itupun hanya 1 juta,” katanya.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.