Inspiratif, Nuansa Perempuan di Pilgub Sulsel

36313549_215444072427793_3602330843730673664_n
Para perempuan di TPS Kalukuang (dok: istimewa)

Untuk Pilgub Susel 2018, Pasangan Nurdin Abdullah dan Andi Sudirman Sulaiman menang menurut versi quick count. Hampir semua lembaga survey menempatkan usungan PDIP, PKS, PAN dan PSI tersebut sebagai jawara di Pilgub provinsi berpenduduk sekira 8 juta jiwa ini.

Bagi saya, pelaksanaan Pilgub Sulsel ini membahagiakan sekaligus mengagumkan sebagai ‘political education’ yang inspiratif, bukan semata proses pemilihan yang berjalan lancar dan menawarkan ‘kebaruan’, taat azas, tetapi partisipasi perempuan dari lingkar terdekat, di keluarga dan di kampung halaman di Takalar, Sulawesi Selatan yang baru dan mencerahkan.

 

Selama ini, dominasi kaum pria di urusan Pemilu terutama di pesisir Takalar, Sulawesi Selatan sangat nyata. Sekarang, seiring waktu, dengan pendidikan, mereka bisa tampil tanpa tedeng aling-aling.

Mereka pede dan membagikan setiap detak lini masa aktivitas mereka, sebagai perempuan, sebagai petugas KPPS, ke social media seperti Facebook dan Whatsapps grup, hal yang saya tidak pernah bayangkan sebelumnya untuk desa di mana mereka tinggal.

Bermula di rumah

Masih pagi sekali, ketika gerbang Pilgub belum dibuka di Kelurahan Tamarunang, Gowa. Anak saya Intan Marina sudah mandi. Rapi jali layaknya anak gadis.

“Tumben?” kataku.

“Apa ini kupilih pak? Tidak ada kukenal,” ucapnya.

Saya lalu teringat beberapa kegiatan dan promosi Pilgub yang saya ikuti dan lakoni, mulai dari Dialog Isu Maritim dan Pilgub Sulsel dua bulan lalu serta berbagi informasi online ke voters tentang sesiapa dan apa saja program Paslon di Pligub Sulsel. Kaum muda yang ini, dalam rumah sendiri ternyata masih menunggu hari H untuk mencari kepastian calon.

“Ih, cari sendiri,” balasku sekenanya.

“Adami saya, nak Intan,” tanggap mamanya dengan aksen Makassar dari dapur yang sedang menyeduh teh. Istri lalu menyebut calon yang menurutnya sesuai hati nuraninya. Beda dengan selera saya.

Oya, di rumah, saya tidak pernah mengarahkan atau menjelaskan detail tentang figur baik itu peserta Pilpres atau Pilkada.

Intan ke TPS 1, mamanya ke TPS 2. Mereka beda lokasi. Jaraknya sekira 150 meter.

Sayangnya, saya yang selama ini ikut Pilpres dan Pileg sejak bertahun-tahun dengan modal domisili yang sama sebelumnya justeru tidak dapat surat pangglan pemilihan. Dicek ke web KPU dengan memasukkan nomor NIK pun tiada nama.

“Bapak bisa mencoblos tapi nanti setelah pukul 12 siang,” kata Pak Ramsi, ketua KPPS di TPS 2 Tamarunang.

Saya pun menunggu selama 1 jam 30 menit di TPS 2 sebelum menjadi yang pertama menggunakan KTP untuk Pilgub Sulsel di situ.

Selama penantian itu, saya mengobrol dengan beberapa warga yang juga tidak dapat surat panggilan memilih. Jumlah yang saya lihat awalnya 3 orang tetapi dalam beberapa menit datang lagi beberapa orang. Lumayan banyak untuk ukuran RT dan RW yang serba dinamis seperti Tamarunang di Gowa.

Pilgub ini membuat kita harusnya introspeksi, apa manfaatnya dan mengapa kita harus seperti ini, mengantri dan bahkan kadang dilupakan oleh sistem. Apa yang dilakukan KPU terkait monitoring mereka pada data pemiih?

Kenapa tidak sejalan antara data RT/RW dan KPU. Bukankah ada banyak dana disiapkan untuk memastikan agar sistem pemilu berjalan baik dan lancar.

Ah, jangan-jangan mereka memang tidak serius urus kita?

Itu adalah beberapa pernyataan sekaliagus pertanyaan yang saya kutip dari masa penantian bersama beberapa warga sebelum mencoblos modal KTP itu.

Tapi begitulah, saya berterimakasih ke KPPS TSP 2 Tamarunang, Kelurahan Tamarunang, Gowa yang konsisten pada aturan tentang penggunaan KTP di Pemilu, juga ketaatan pada siapa yang antri dan didahulukan sebagai peserta pilih. Saya mencoblos sekira pukul 12.2 menit.

Saya lega setelah menyalurkan hasrat Pilgub yang sudah lama digadang-gadang. Thanks, KPU Gowa!

“Jangan kasih tahu ke orang-orang apa pilihanta, juga pilihanku nah pak,” pesan istri via WA saat saya baru saja mendarat di Jakarta yang terasa lengang sore itu.

“Saya sudah memilih pak, yes!” sebut Intan.

“Siapa?” tanyaku.

“Rahasia dong!”

Sebelum naik ke bus Damri tujuan PGC Cililitan, saya menelpon ke ibu di Galesong.

“Amma’, lebba’maki anno’do?” tanyaku ke ibu (70) menanyakan sudah tidaknya memilih.

“Lebba’ma,” jawabnya. Ibu juga sudah sudah memilih.

Bangga Pilgub

Apapun hasilnya, saya bangga sebagai peserta Pilgub Sulsel, saya paham kapasitas jagoanku, saya paham juga kapasitas Paslon lain.

Bagi saya, Pemilu atau Pilgub, dasarnya adalah sikap jujur dan kesetiaan pada ‘pengetahuan’. Pengetahuan pada calon serta optimisme pada program yang ditawarkan. Dan semuanya menjadi melegakan setelah kita memilihnya di ruang pilih tanpa tekanan, tanpa pengendalian, tanpa keraguan.

Itu yang menyenangkan dari Pilgub Sulsel tahun ini. Tak ada amarah atau merasa tertekan meski celana dan jari kita dikotori oleh tinta. Tinta yang seharusnya menjadi penanda sekaligus pesan untuk siapapun yang terpilih untuk konsisten pada janji. Jangan di-pehape saja seperti tahun-tahun dan aktor-aktor sebelumnya.

“Kita ditintai tapi tidak dicintai,” kata kawan saya La Jimpe dari Rappang di hari pelaksanaan Pilgub itu.

Jimpe benar dan karena itu kita harus selalu mengawasi kinerja yang terpilih. Menjadi bagian di dalamnya, toh ini hasil kerja bersama para pemiih. Siapapun yang menang.

Lalu, yang membuat bangga kedua di Pilgub adalah, bagaimana perempuan, generasi muda ikut perpartisipasi di palagan politik yang menguras tenaga dan sumber daya uang ini. Mereka nampaknya masih melihat ada harapan perubahan yang lebih baik untuk Sulawesi Selatan.

Anak saya yang berusia 18 tahun mulai ikut pemilu kali ini. Dia semangat, hal yang saya ragukan di awal. Saya kira dia hanya peduli pada gadget atau urusan zaman now belaka, ternyata tidak. Dia terlihat antusias.

Demikian pula istri. Saya kenal mereka sebagai yang skeptis pada urusan politik kontemporer yang bikin ‘gele-gele alias menggelikan’ tapi untuk sekelas Pemilu ini mereka begitu aktif. Keduanya memberi nuansa berbeda.

36262132_219505782002931_6551314410604855296_o
Bersama kaum pria (dok: Mariana)

Yang membanggakan berikutnya adalah barisan perempuan di kelahiran saya Kampung Jempang, Galesong, Takalar. Mereka terlihat siap, manis dan bersemangat menjadi pilar KPPS di Desa Kalukuang, Kecamatan Galesong.

Adik kandung, sepupu, para pindu (sepupu dua kali), para bija, dan keluarga lainnya terlihat bahagia menjadi petugas KPPS. Terima kasih KPUD Takalar, ini mantap ces!.

Adik saya, Kurniati Azis, (45) yang kepala dusun di Jempang, Desa Kalukung, Kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan menuliskan rasa sukacitanya. “Terima kasih banyak untuk TPS 1, 2 dan 3 atas kerja samanya. Jangan melihat dari perempuan atau laki-lakinya yang penting mau bekerja,” unggahnya.

“Kemarin-kemarin banyak yang bilang kenapa lebih banyak perempuan (petugas KPPS) dan kebanyakan pemula tapi saya cuma bilang intinya mau bekerja dan mau bertanggung jawab,” tambahnya lagi di laman FB-nya.

Dia meneruskan. “Alhamdulillah kodong baru jam 5 sore (26/6) kotak suara sudah dikawal ke kantor kecamatan. Sekali lagi terima kasih banyak untuk TPS-TPS-ku di Desa Kalukuang. Terbaik memang tawwa,” tulisnya.

Itu cerita PIlgub Sulsel dan partisipasi perempuan. Bagaimana di tempat anda?

 

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.