Negara Defisit Kayu, Kapal HDPE PT Iqra Visindo Teknologi Jadi Alternatif

Kapal patroli berbahan HDPE jadi alternatif di Papua Barat (dok: istimewa)

LUAS area berhutan Indonesia dalam tahun 2018 mencapai kurang lebih 9 juta ha. Ada kurang lebih 70 persen atau 85 juta ha berada di dalam kawasan hutan. Meski demikian, angka ini sudah sangat berkurang dibanding angka sebelumnya. Kenapa? Karena maraknya praktik konversi hutan untuk pemanfaatan melalui usaha ekonomi dan permukiman.

Deforestasi dan degradasi hutan adalah penyebab utama kerusakan sumber daya hutan di Indonesia. Ini terjadi karena kebakaran dan perambahan hutan, llegal loging dan illegal trading yang didorong oleh permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya di pasar lokal, nasional dan global.

Salah satu muara hasil hutan adalah kayu yang digunakan untuk membuat kapal atau sarana transportasi ukuran kecil, 1-3 groston hingga yang besar seperti pinisi yang mencapai ukuran 200 groston.

Hingga tahun 2019, data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut ada sekurangnya 250 ribu kapal kecil, antara 0,5 groston hingga 3 groston. Bisa dibayangkan jika kapal-kapal ini menggunakan kayu, ada berapa kayu yang sudah ditebang.

Salah satu alternatif yang belakangan ini sering dimanfaatkan oleh pembuat kapal ukuran kecil adalah fiberglass, sayangnya teknologi dan bahan fiber tidak bisa bertahan lama atau sering kali pecah bodi meski hanya kena benturan kecil. Belum lagi risiko karena kesulitan beroperasi di medan berat atau perairan dengan gelombang besar.

Mengganti kayu

“Memang diperlukan inovasi dan kerja keras untuk menghasilkan produk atau sarana transportasi yang bisa menjawab tantangan zaman. Berkurangnya pasokan kayu tentu bisa jadi inspirasi untuk menemukan sumber atau bahan yang bisa mengsubstitusinya,” kata Baharika Dicky Prabusutyo, sosok muda, engineer dari PT Iqra Visindo Teknologi  saat ditemui di Cilandak Town Square, 13/02/2020.

“Kapal yang kami hasilkan ini kapal berbahan HDPE, bukan kayu, bukan aluminium, bukan pula fiber,” katanya.

Menurut Dicky, setelah melemahnya galangan kapal kayu karena terbatasnya pasokan kayu lalu diperparah rentannya kapal atau perahu berbahan fiberglass, inilah saatnya para pemangku kepentingan usaha atau jasa kelautan dan perikanan untuk menjajal pembangunan kapal, boat atau perahu dengan bahan HDPE.

PT Iqra Visindo Teknologi, perusahaan pendisain dan pembuat kapal HDPE, telah menunjukkan prestasinya sebagai wahana bagi anak bangsa dalam menjawab kebutuhan transportasi sarana prasarana perairan terutama di lautan.

“HDPE atau High Density Polyethylene adalah bahan elastis, kuat, tahan benturan, tahan di segala cuaca serta ramah lingkungan. Bahan ini bisa disebut sebagai pengganti kayu. Diproduksi industri petrokimia dengan mengolah hidrokarbon (crude oil) kemudian menjadi produk nafta lalu menjadi menjadi HDPE,” jelas Dicky yang belakangan ini aktif mempromosikan kapal HDPE.

Dari Dicky diketahui bahwa selama ini, penggunaan HDPE sudah lazim di industri otomotif, bumper kendaraan, Road Barrier hingga pipa air untuk PDAM dan berbagai alat rumah tangga.

“HDPE mempunyai keunggulan banyak sekali dibanding kapal berbahan kayu, besi, aluminium atau fiber,” sebutnya.

Menurutnya, kapal HDPE lebih awet, tak diserang korosi, tak perlu ada pengecatan pada lambung karena sifatnya yang licin dan tak berpori. Untuk perbaikan jika ada kerusakan atau kebocoran mudah mudah diatasi.

“Kapal HDPE tidak menghasilkan limbah, debu sehingga ramah lingkungan. Material HDPE tidak beracun dan telah mendapatkan Seritifkasi Non Health Effect dari Laboratorium NSF Amerika,” jelasnya lagi.

Jadi alternatif untuk nelayan di Papua Barat (dok: istimewa)

Keunggulan kapal HDPE sehingga patut menjadi alternatif bagi para pelaku usaha transportasi kelautan atau usaha perikanan adalah karena dia ringan dan tidak dapat tenggelam (Unsinkable).

“Dengan massa jenis 0,96 g/cm3 yang lebih ringan dari masa jenis air 1 g/cm3 membuat HDPE ringan dan mudah melakukan manuver,” ungkap Dicky.

“Pada bagian lambung (Hull) kapal HDPE didesain khusus sedemikian rupa sehingga ketika terjadi kebocoran atau air melimpas ke dalam kapal, Kapal Tidak Dapat Tenggelam (Unsinkable) serta berkat kemampuan ini, saat terjadi kecelakaan di laut, kapal bisa difungsikan sebagai “pelampung” darurat karena tetap mengapung di permukaan air,” papar Dicky.

Sudah diaplikasikan

Berdasarkan pengalaman PT Iqra, sejauh ini produknya telah digunakan untuk kapal patroli laut, untuk keperluan militer dan Polisi Air. Secara umum, HDPE dapat digunakan untuk  Military Combat boat, Search & Rescue boat,  Health Ambulance boat, Passenger Transportations boat, Harbour & Marina Services boat dan Diving Boat.

Salah satu pihak yang telah menggunakan HDPE PT Iqra adalah di Satuan Polair Polres Manokwari, Papua dan dengan kapal HDPE telah menangkap penyelundup Miras di kawasan itu. Hal tersebut terjadi karena kemampuan manuver yang dinamis, mampu membelah gelombang dan super cepat.

“Nelayan kami juga sudah menggunakan kapal HDPE,” kata Samuel Konjol, ASN Dinas Kelautan dan Perikanan Papua Barat saat dihubungi penulis.

Di tingkat nelayan, kapal atau perahu berbahan HDPE juga telah dimanfaatkan. Nelayan-nelayan setempat telah menggunakan longboat mereka hasil olahan PT Iqra.

Aneka produksi PT Iqra Visindo Teknologi (dok: istimewa)

Kapal HDPE dapat dibuat dengan praktis, PT.Iqra Visindo Teknologi dapat merakit di workshop-nya dan mengirim lalu merakit langsung kapal nelayan HDPE di lokasi pemesan.

Muhammad Asdin, Direktur PT.Iqra Visindo Teknologi saat ditemui di Cilandak Town Square menyebut mempunyai workshop di Kawasan Bekasi. Dia membuka ruang kolaborasi dengan berbagai pihak baik di Pusat, Provinsi atau di Kabupaten/Kota untuk bermitra dengan pihaknya.

“Ikhtiar luhur kami membangun dan mengembangkan industri maritim di negara kita melalui kapal HDPE. Tentu dengan menggunakan sumber daya dari bangsa sendiri. Semoga ke depan, bersama segala keunggulannya, penggunaan kapal HDPE semakin banyak digunakan dalam beragam aplikasi di Indonesia!” pesannya. (*)

Sepanjang Jalan dari Binturu hingga Ujung Pettarani

Demi ibunya yang sakit parah, mantan tukang batu ini rela berpisah istrinya yang telah memberinya empat putra-putri yang masih balita. Dia tinggalkan keluarganya di Sulawesi Tengah dan kembali ke kampung halamannya, di utara Kota Makassar.

Cerita tak usai di situ, di kampung halaman, benih cintanya tumbuh pada perempuan setempat, rasa yang berujung aksi silariang penuh risiko khas Suku Makassar.

“Tapi itu pengalaman, masa lalu,” katanya saat kami melata di atas jalur Palopo – Makassar pada Senin, 19 November 2018.

“Menarik. Kutuliski ya,” kataku sembari mengeluarkan laptop dan mulai menyamarkan nama dan kampung halamannya.

Dia tersenyum.

***

Kami hanya berdua saat perbincangan hangat itu dimulai.

Saya duduk di kursi tengah, senang sebab meski di atas mobilnya hanya ada saya, dia tak lama-lama ngetem demi menambah penumpuang di Binturu.

Gegas ke Makassar adalah pilihan penting saat itu.

Saya juga bercerita tentang pengalaman pertemuan dengan warga asal Galesong bernama Daeng Serang di Kota Palopo di tahun 2004, sosok yang pernah diterungku di Lapas Takalar karena mengeksekusi istrinya yang minggat ke rumah Imam Kampung. Nun lampau.

Dalam bahasa Makassar, nama pria di samping kanan saya ini
dimaknai sebagai ‘yang cocok atau sesuai’ atau bisa juga disebut sebagai ‘Orang yang mau mengerti’.

Paddaengang itu melekat di namanya. Sosok ini membuat saya kagum karena mampu berbahasa Bugis, Makassar dan Palopo dengan fasih.

Obrolan dengannya bermula dari lagu-lagu yang diputarnya sejak mobil merangsek dari Kawasan Binturu pada waktu sekira pukul 2 siang. Di luar suasana sedang terik. Kaca mobil terus terbuka.

Lagu-lagu Iwan Tompo yang mendayu-dayu membuat saya larut dalam perjalanan yang sebenarnya melelahkan, karena terik serta terpaan angin tenggara nan kering.

Hari itu saya berangkat sepagi mungkin dari Sorowako dan mengaso sekira sejam sebelum bersua dengannya.

Lagu ‘Atiraja’ hingga ‘Sipuliang memang tongki’ dari Iwan Tompo yang mengalun dari tape-nya membuatku benam dalam kenangan perjalanan lintas provinsi pada tahun 2000-an.

Dari lagu itu pula saya membangun percakapan.

“Manna makkanynyang i lau, taku pelo’ sombalakku. Aule, kualleangna, tallanga natoalia,” kurang lebih begitu lagu Iwan Tompo mengalun di ruang dengar saat mobil Xenia miliknya melata di atas jalan raya Kota Belopa.

“Meski angin menderu di barat, takkan kugulung layarku, Aule, kupilih tenggelam dari pada surut ke pantai,” begitu arti lagu tersebut.

“Lagu ini sering kuputar, kalau sedang perjalanan jauh. Di Selayar, di Aceh, di Sumatera, di Kalimantan,” kataku ke padanya yang selama perjalanan beberapa kali menerima telpon dan berbahasa Palopo, diselingi Bugis khas Wajo.

Saat mobil masuk Kota Belopa, saya bergeser ke kursi depan.

“Saya aslinya dari utara Makassar. Kalau istri saat ini orang sana juga,” katanya membalas pertanyaanku.

Dia mahir ragam bahasa karena belajar bahasa Palopo dan Bugis dari tetangga rumahnya. Bahasa ibunya sebenarnya Makassar, serupa lagu Iwan Tompo itu.

Dia spontan bercerita tentang istri pertamanya saat saya menyebut betapa gempa Palu telah memperkuat solidaritas warga Sulawesi terutama Sulawesi Selatan.

Saat saya bercerita bahwa minggu kedua Oktober 2018 saya ke Palu bersama beberapa kawan, dia menyambut cerita saya bahwa istri pertamanya adalah orang Sulawesi Tengah. Dia menyebut salah satu suku di sana.

“Oh, jadi berapa istri-ta?” kataku bak terperanjat.

“Duaji,” jawabnya gegas.

“Dengan istri pertama, kami hanya bersama selama 3 tahun karena saya harus kembali ke kampung halaman. Ibu saya sakit dan saat itu saya harus merawatnya. Dia tidak mau ikut dan karena dia bilang tidak bisa ikut, maka saya pulang. Sendirija,” ungkapnya mengenang istrinya, istri yang menurutnya enggan menikah lagi hingga kini.

Dari istri pertama tersebut dia memperoleh empat anak, anak pertama kembar.

“Dengan istri pertama hanya 3 tahun. Anak pertama kembar, lalu lahir dua anak dua tahun terturut-turut, “ kata pria yang pernah ke Palu naik pesawat Bouraq dan harga tiketnya masih 35 ribu di tahun 80-an.

“Itu yang saya ingat soal harga tiketnya,” katanya saat kami tiba di Pare-Pare.

“Kita tahumi toh, saat itu susah cari pekerjaan di kampung, makanya saya ke Donggala dan Palu,” katanya.

“Logat Makassar-ta sama dengan bahasa Makassar saya yang asal Galesong (Takalar),” kataku memperkenalkan nama dan asal-usul. Dia mengaku komunikasi dengan istri pertama masih lancar, termasuk keempat anak-anaknya yang kini sudah berkeluarga.

Sebagai supir antar kota, dia terlihat bangga sebab meski sudah punya banyak cucu dia bisa mengisi hari-harinya dengan tetap bekerja, menikmati pekerjaan sebagai supir.

***

Tanpa sungkan dia bercerita bahwa perkawinannya dengan istri kedua tak mudah sebab ditempuh dengan status silariang.

Hal yang membuatnya pernah tidak tenang selama beberapa tahun namun tetap dijalaninya sebab ini adalah pilihan hidupnya.

“Saya ingat persis, ada tiga mobil yang cari saya di Palopo di tahun 90-an,” kata pria yang mengaku hanya menguasai tiga pekerjaan, mengayuh becak, jadi tukang batu dan sekarang ini jadi supir antar kota.

“Saya kembali ke kampung saat sudah punya anak dua orang. Motere abbaji,” katanya.

Motere abbaji artinya, datang menyambung silaturahmi ke keluarga istri atas nama adat dan niat tulus untuk diterima sebagai satu keluarga.

“Butuh waktu lama untuk bisa baik. Sebelumnya saya harus mengutus orang, lalu memberi penjelasan ke keluarga istri, ke kantor Camat, ke Kapolsek, demi abbaji itu. Seingatku di tahun 2005,” katanya.

Di kalangan komunitas Makassar, berbahasa Makassar, silariang adalah aib dan kerap berujung tragedi. Keluarga pihak perempuan biasanya akan melakukan aksi pembalasan ke lelaki, hal yang banyak terjadi di tahun 70 hingga 90-an di wilayah pesisir dan pedalaman.

“Saya hampir dua tahun dicari keluarga istri,” katanya sembari mengisap rokoknya dalam-dalam. Meski demikian dia bangga sebab setelah itu, ada wujud tanggungjawab dan kerelaannya untuk kembali. Hal yang membuatnya waswas juga.

“Saya malahan pernah ketemu keluarga istri di Palopo saat itu. Tapi dia tidak kenal saya karena rambut saya gondrong waktu itu,” ungkap pria yang lahir di tahun 50-an ini.

Di Palopo dia memilih mengayuh becak sebagai upaya menghidupi istri dan anak-anaknya selama di Palopo.

“Masa lalu saya sedih sekali. Mau sekolah tapi tidak bisa bertahan, hanya 3 bulan sekolah di Sekolah Dasar lalu berhenti,” kenangnya.

“Lebih banyak main-mainnya. Saya masih rasakan bagaimana sekolah dengan menggunakan papan tulis batu. Kelas 1 pun tidak selesai,” ujar pria yang mengaku bersaudara tiga orang ini.

“Saya ke Donggala tanpa ada keluarga di sana. Saya ikut teman sekampung dan bekerja sebagai tukang batu. Saya yang kerjakan Pasar Inpres di Donggala. Saya tinggal di Kilometer 2 Donggala,” kenangnya.

“Istri saya akan pulang ke kampung dalam waktu dekat, ada acara keluarga,” ucapnya terdengar optimis.

Dia juga bercerita bahwa cicilan mobilnya telah kelar beberapa tahun lalu. Hal yang membuatnya bisa mendapat pinjaman lagi dengan menjaminkan BPKP-nya.

“Untuk keperluan usaha,” kata pria yang mengaku tinggal di utara Kota Palopo ini singkat.

“Selama jadi supir seperti ini berapa pendapatan tertinggi yang pernah didapat?” tanyaku.

“Saya pernah dapat bersih sekitar 4 juta akhir tahun lalu hanya dalam tiga hari. Saya antar tiga orang dokter ke Bira, Bulukumba. Saya dapat uang bersih 2,5 juta lalu saat pulang ke Palopo, saya cari penumpang di pertigaan bandara, dapat penumpang 9 orang. Mereka bayar 200 ribu perorang,” katanya semangat.

***

Waktu menunjuk pukul 23.00 Wita saat kami sampai di ujung Pettarani Makassar. Saya pamit dan berterima kasih atas cerita, cerita yang telah menginspirasi saya atau mungkin kita semua tentang bagaimana memperjuangkan denyut kehidupan dan cinta.

Cinta dan kehidupan yang mana, silakan direnungkan.

Tamarunang, 22/11.

Jejak Dagang Muhammad Attas, dari Musi Banyuasin hingga Pasangkayu

Muhammad Attas (dok: istimewa)

Muhammad Attas telah 12 tahun meninggalkan Kota Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Pada lebih satu dekade itu, dia telah berjibaku tantangan, harapan, suka duka demi meretas nasib baik. Segala jenis usaha telah dicobanya sebelum bisa sebegini membanggakan, setidaknya jika dibandingkan ketika harus berjualan sayur-mayur dan menabung rerata 50 ribu perhari.

Kepada penulis, pemilik Toko Ilham Elektronik itu berbagi kisah perjalanan hidupnya kala ditemui di rumahnya di sekitar Poros Mamuju – Pasangkayu, di Desa Malei, Kecamatan Pedongga, Pasangkayu, (10/10).

***

Pagi baru saja dimulai di Pedanda. Lelaki usia 40 tahun itu mengisap rokok dengan perlahan. Kue-kue khas Bugis seperti apang dan dadar sedia di meja. Segelas teh hangat menjadi pengusir kantuk penulis setelah semalaman melata di Trans Sulawesi.

Meski mengaku Bugis Wajo nan tulen, dia lahir di nun jauh di barat Indonesia, di Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.  Attas menerawang ke masa mudanya. Saat itu, dia merasa kesulitan menyelesaikan pendidikan SMA-nya. Dia lebih tertarik berdagang.

“Apalagi saat itu adik-adik saya masih kecil,” katanya membuka obrolan.

“Sebelum punya toko elektronik ini, apa pekerjaan sebelumnya?” tanya penulis.

“Hampir semua pekerjaan,” katanya tertawa. Dia menyebutkan satu persatu. Jadi petani, pekebun kakao dan sawit, jualan sarung, ikan asin, sayur-sayuran, asesoris telepon genggam, hingga bisnis TV kabel!

Saat ini, Attas mengisi hari-harinya dengan mengelola pusat penjualan elektronik di Kampung Pedanda.  Hal yang menurutnya penuh liku dan terwujud karena kesabaran dan kepercayaan yang telah ditunjukkan ke mitra kerjanya selama ini.

Di rumah yang bersebelahan dengan tokonya itu, ada ayahnya yang bernama Asri Naka serta ibunya Indo Masse. Rumahnya berjarak sekira 10 kilometer dari Kota Pasangkayu.

“Barang-barang ini dari Palu. Ada suplai karena ada bos dari Palu, dari gudang elektronik di Palu,” katanya. Barang yang dimaksud ada di ruang tamu. Dia membelakanginya.

Menurutnya, sejak masuknya listrik dari PLN ke Mamuju Utara sekitar tujuh tahun lalu, animo masyarakat setempat untuk mempunyai barang ektronik menjadi ide untuk Attas berbisnis barang elektronik. Dia pun terhubung dengan pengusaha di Palu dan memberinya kemudahan untuk itu. Yang dijual macam-macam ada AC biasa, AC Polytron, pengeras suara, televisi.

“Satu led TV harganya tergantung dari inchi-nya. Mulai 20 inch, harganya bisa 1,5 juta,” katanya. Dia merasa bisnis ini sangat prospektif sebagai bukti di rentang tahun 2017 dia berhasil menjual hingga 16 unit. Dia pun dapat bonus mobil pickup dari perusahaan induk.

“Setiap toko saat itu ditarget 12 kupon, kebetulan saya dapat 16 kupon. Dari situlah saya dapat hadiah mobil  meski harus bayar 20 juta untuk ongkos pengirimannya,” kata pria yang sudah beberapa kali pindah lokasi usaha ini.

“Kalau toko ini sudah lima tahun, kalau rumah baru 2 tahun setelah beli lahan,” katanya.

“Tapi awalnya, saya memang punya pengalaman berjualan asesoris handphone tapi dari bos yang lain. Akhirnya, sampai ke bisnis ini,” katanya.

Bermula tahun 2004

Attas bercerita bahwa ini semua bermula di 2004. “Bisa disebut jalan-jalan saja sama orang tua tapi kemudian tertarik berkebun. Saat itu berkebun kakao saja, ada lahan kami beli,” katanya. Attas dan keluarga berkebun di sekitar lokasi transmigrasi.

“Tapi yang namanya orang Selatan (Wajo) berkebun tidaklah cukup, karena sudah pengalaman berdagang maka saya jualan pakaian. Sekarang, tidak kebayang saja bisa seperti ini (jualan barang elektronik),” katanya tersenyum.

“Sekarang punya lahan 8 hektar. Waktu itu, murah sekali karena memang hutan. Dasar harga 4 juta per hektar, beli di tokoh adat. Belakangan ini sudah disertifikatkan karena ada Prona sertifikat,” katanya terlihat bangga.

Attas mendapat informasi soal lahan dari para pendatang Bugis yang telah lebih dulu mengolah lahan kakao.

“Tapi baru sampai sekitar dua tahun baru bisa mulai produksi. Pertamanya saya yang tangani, lalu bapak saja,” katanya. Orang tuanya sibuk mengolah kebun kakao sementara dia menanam sayur-sayuran dan menjualnya ke kota.

“Kalau dapat untung misalnya200 ribu, saya tabung 50 ribu,” katanya.

“Kehidupan dan produksi kakao kan lama, makanya harus ada usaha lain,” ujarnya. Kebunnya ditangani oleh keluarganya, butuh tenaga 4 orang termasuk adiknya. Kebun diolah dengan tangan tanpa alat bantu seperti mesin.

“Saat itu masih kakao, belum ada sawit. Karena penyakit kakao, kamudian kami pindah ke sawit. Kira-kira tahun 2010. Dan saat itu ada perusahaan yang kasih bibit,” katanya.

Bugis dari Banyuasin

Keseruan mendengarkan cerita Attas bermula saat dia bercerita kalau saat kecil dia dikirim dari Bayuasin ke Wajo. Ini bermula dari jejak perantauan Attas bersama kedua orang tuanya dan bermula dari para pendahulunya. Ibunya adalah kelahiran Musi Bayuasin. Bertemu ayahnya, Asri, saat sang ayah datang ke Banyuasin karena diajak oleh pamannya yang juga orang Wajo.

Berada di toko Ilham Elektronik (dok: istimewa)

“Keluarga saya banyak di Sengkang, di Siwa, meski saya lahir di Musi Banyuasin,” ungkap pria yang menurutnya kembali ke Sengkang saat masih kecil karena diajak pamannya yang guru.

Menurut banyak catatan sejarah dan riset, jumlah keturunan Bugis-Makassar di Sumatera (termasuk Sumatera bagian selatan) mencapai angka 750 ribu.

Orang tua Attas, Asri Naka ke Sumatera pada tahun 60-an, menjadi petani di usia 20 tahun.

“Saya diajak kakak ipar, menanam padi kemudian berkebun kelapa. Saya ikut ipar bernama Ambo Atte. Di Banyuasin, tidak ada harga tanah,” kata Asri.

Perjalanan Asri ke Palembang bermula dari Wajo ke Makassar dengan menaiki kapal Pelni yang masih terbuat dari kayu.

“Naik kapal Lambo’ Lambo’, kapal Pamakka,” katanya.

Di tahun 1994, Asri kembali ke Wajo dengan menumpang kapal KM Umsini kemudian merantau ke Pasangkayu di tahun 2004. Dia menikah dengan ibu kandung Attas di Musi Banyuasin. Keluarga ibu Attas adalah orang Wajo yang telah lama merantau ke Sumatera.

“Saya berani ke sana karena memang ada keluarga di sana. Masa muda dulu di Siwa, masih ada gerombolan. Di tahun 1969 merantaulah saya ke Sumatera,” sebutnya.

Asri pernah berdagang di Kota Palembang selama hampir dua tahun. “Berdagang barang campuran, sudah itu pulang saya ke Sulawesi,” katanya.

Apa yang dilakukan Asri menurun ke anaknya, Attas.

Segala rupa pekerjaan

“Waktu saya di Wajo, di selatan, kita tidak tahu mau kerja apa lagi. Serba terbatas. Peluang usaha tidak ada, di sii enak sekali. Apalagi kita dapat kepercayaan dengan pembeli dan pemilik modal,” kata Attas.

Meski demikian, Attas sadar bahwa dalam berbisnis ada-ada saja kendalanya seperti pernah ditipu, atau tidak dibayar meski ada pembeli yang janji mau cicil barang. “Dikasih barang tapi tak dibayar,” katanya.

Di tahun 2000-an, masa dimana keluarga Attas di Pedanda adalah masa sulit sebab kawasan itu banyak diterjang banjir. “Banyak yang dari Bugis pulang karena banjir itu,” katanya. Tapi dia dan keluarganya tetap bertahan.

Urutan adik Attas adalah Mutiara yang tinggal di Pasangkayu, lalu Murniati yang kini ada di Kalimantan, menyusul Mulyadi dan nomor 4, ada di rumah satu lagi, yang bungsu Ashar.

“Saya pernah jual ikan, ikan kering. Beli ikan dari empang, kakap, bandeng. Di Kecamatan Pedongga ada banyak tambak. Tapi menjual ikan sifatnya musiman saja,” tambahnya.

“Lalu juga jual pakaian dengan sistem cicilan. Ini yang banyak orang tertarik karena lebih ringan,” katanya.

Saat itu, Attas keluar masuk kampung transmigrasi, kampung yang menurutnya telah dikenal dengan baik. “Di dalamnya itu ada banyak suku, ada Bugis, Jawa, Toraja, kalau tidak salah daerah itu dibuka sebagai lokasi transmigrasi sejak tahun 80-an,” ingatnya.

Ada tiga wilayah yang masuk di Pedanda, yaitu Pedanda Pesisir, Pedanda I dan Pedanda II. Ada ada tidak kurang 2000 KK pada satu kecamatan. Darinya diperoleh informasi bahwa banyak lahan kakao yang telah ditebang dan warga beralih ke tanaman sawit. Selain karena diberi bibit juga karena kakao memang sedang tidak bagus.

“Kecambahnya sawit ada kita tanam, ada pula dari Astra (perusahaan),” kata ayah Attas, Asri Naka.

Attas tidak bisa lupa bagaimana ia mulai ikut berdagang di Sengkang. “Saat itu tahun 1998 di Sengkang, tahun 1998 saya tinggal sama paman, saya kerja di toko pakaian di Sengkang,” katanya.

Jalan hidup Attas juga serupa dengan saudaranya yang lain. Ada yang berdagang di Kota Pasangkayu, ada yang jual beli kopra di Kalimantan, sementara yang keempat ikut menangani usaha TV kabel, sementara yang bungsu juga ikut sama Attas.

Pengalaman Attas berdagang ternyata juga pernah dilakoninya di Luwu, dia pernah keluar masuk Malangke, Mappedeceng bahkan hingga Soppeng.

“Cuma jualan sarung saja. Bukan sarung sutra. Yang murah saja kan kita bisa mahalkan,” katanya sambil tertawa. Selain bawa motor, dia juga kerap membawa sarung dengan naik kendaraan umum seperti bus.

“Lama juga, antara 3-4 tahun saya jadi pedagang sarung, sampai ke Kotaraya, daerah Parigi Moutong, Kendari, Kalimantan, Balikpapan, Samarinda,” katanya.

“Prinsipnya sederhana, tetap kerja keras, pastikan untuk bisa dipercaya,” kata pria yang kini berbisnis televisi kabel, sudah jalan dua tahun dan ditangani oleh adiknya, Mulyadi.

“Dia memang ada bakat ke situ, dia yang pasang atau instalasi kabel. SMP juga tidak tamat. Dia belajar di Google, otodidak,” imbuhnya.

Di usaha itu, Attas mengutip biaya sewa bulanan 25 ribu tiap satu sambungan. “Modalnya bisa sampai 170 juta untuk tiga desa. Pelanggan 300-an, kali 7,5 juta perbulan, jadi ada 5 juta bersih,” rincinya.

Di tangan Attas bisnis ini menjadi mudah sebab dia punya jaringan kerja yang bisa menyuplai kabel dan kebutuhan TV kabel.

“Buka TV kabel juga tidak asal buka, harus lihat ramai tidaknya rumah warga,” katanya.

Investasinya lumayan besar sebab jarak dari rumah ke Pedanda Pantai ada 1 kilometer, kabel yang dipakai didatangkan dari Surabaya.  Dia sangat bergantung pada para pekebun sawit yang ada di Pedanda I dan II serta Pedanda Pantai, uang bisa selalu ada sebab para pekebun wasit ini bisa panen saban waktu.

“Harga sawit perkilo saat ini 700 rupiah, cuma ini enaknya, sepanjang tahun bisa panen, biasanya dua kali sebulan,” katanya.

“Saya bisa maju karena sawit,” imbuh pria yang mengaku telah menikah dua kali, yang pertama dengan perempuan Wajo namun berpisah karena ketidakcocokan setelah dia pindah ke Pasangkayu, istri enggan ikut.

Dia pun berlabuh di perempuan asal Karossa yang juga berdarah Bugis.

Apa yang dilakoni Attas kali ini lebih anteng karena sudah memahami karakter warga juga kesungguhan untuk membayar cicilan seperti televisi atau barang elektronik. Meski begitu dia dia tidak gegabah untuk memberikan kredit.

“Tidak terlalu tinggi marginnya, paling sampai 10% keuntungan yang penting lancar perputaran barangnya,” ujar pria yang mengaku pernah pinjam modal di bank saat ditanya strategi bisnisnya.

Meski demikain, mengingat relasi dan prospek bisnisnya, tokoh Attas di ruas jalan Pasangkayu – Palu itu dilirik perbankan, menjadi simpul kerjasama dengan BRI. Tokonya menjadi gerai ‘BRI Link’, hal yang disebutnya memberinya pendapatan hingga 10 juta berbulan karena transaksi yang ada.

Hal yang dikhawatirkannya saat ini adalah kaum muda yang cepat bosan saat diminat bekerjasama. Dia pernah mempunyai 4 orang pekerja namun saat ini yang bertahan hanya 2. Satu orang Bugis, satunya orang Lombok.

Ada prinsip atau sikap mental yang selalu dijaga Attas. “Saya kira, untuk mengubah nasib, kita harus total. Kalau bukan kita yang mau total, tidak akan berubah,” tegas pria yang mengaku belum pernah kembali ke Wajo (ke selatan) sejak tahun 2004 ini.

***

Matahari semakin tinggi, suasana Pedanda semakin riuh oleh deru mobil yang bergegas ke utara. Ada yang ke Donggala, ke Palu, membawa bantuan pasca gempa dan tsunami.

Saat saya memberi pujian ke Attas dan hendak pamit, Asri, ayah Attas berujar.“Saya sampaikan ke adiknya ini, ndak ada kalai kerja swasta sekarang, guru honor itu tiga bulanpi baru gajian, itupun hanya 1 juta,” katanya.

Mencari Batik Khas Sulbar di ‘Manara Batik’

Mengenakan batik Sulbar di OOC 2018 (dok: istimewa)

Dalam perjalanan ke Kota Palu tiga minggu lalu, saya beruntung bisa mampir di Mamuju bersama Direktur COMMIT Ashar Karateng. Mamuju adalah kota yang sudah lama masuk daftar ‘wish list’ setelah mendengar banyak kemajuan terkait pembangunan kota di pesisir barat Sulawesi itu.

Ke kota berjuluk Bumi Manakarra itu berarti berangan sua kolega yang pernah berinteraksi di JICA CD Project di tahun 2008 hingga 2012, seperti Pak Syauqi, Nur Falah, Aksan, Iwan Yaman, Yusuf, dan banyak lagi.

Yang kedua, sebagaimana biasa ketika di negeri jauh, saya mencari tahu keberadaan alumni Kelautan Unhas atau teman sekolah. Hal yang saya anggap bonus perjalanan dan bisa melanggengkan silaturahmi.

“Biar dikira tetap eksis,” begitu kata seorang kawan.

Setelah dijempat-antar oleh Iwan, alumni Pelatihan Perencana dan PLSD Training Nagoya dari bandara Tampa Padang, kami lalu mengaso di warkop. Setelah itu, bersama Ashar kemudian menjajal salah satu warung ikan bakar terbaik di kota teluk itu.

Ratna di toko batiknya

Ajakan makan malam datang dari alumni Kelautan, Nur Syamsu dan Ratna Mutu Manikam. Mereka sepasang yang saya tahu sangat kreatif dan ulet serta selalu punya semangat memeriahkan hidup dengan inovasi. Salah satunya dengan mengembangkan toko pakaian yang menomorsatukan produk batik.

“Kami jual dari pakaian, batik umum hingga batik bermotif Sulbar,” kata Ratna.

“Khas Sulbar?” tanyaku saat bertandang ke rumahnya nan mungil di sisi jalan sebelum masuk ke Kota Mamuju dari arah selatan.

“Iya kak, selain menjual batik motif biasa, kami juga berkreasi untuk membuat motif khas Mandar, seperti motif perahu Sandeq atau ikan terbang,” katanya saat saya datang ke Jalan Sultan Hasanuddin No. 108, Mamuju.

Di Manara Batik inilah, Ratna bersama suaminya yang bekerja di Kantor PU Sulbar melebarkan sayap bisnis yang menurutnya memberinya banyak kesempatan mengasah kreativitasnya meski telah terangkat menjadi ASN. Bertahun-tahun sebelumnya, dia adalah tenaga honorer di Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulbar.

“Misalnya mencari ide, kira-kira motif apa yang disukai pembeli,” jelasnya terkait ide motif batik.

Manara Batik

“Yang menyenangkan, banyak juga teman-teman ASN atau teman yang pesan baju. Jadi selain batik, kami juga melayani pesanan baju sablon dan bordir. Khusus untuk batik, kami ada mitra di Pekalongan, Jawa Tengah yang bisa penuhi orderan,” tambah perempuan yang saat ini dibantu dua orang pekerja asal Palopo.

Tak bermaksud berlebihan, saya terkesan dengan baju batik yang dipajang di etalase Manara Batik. Kainnya berkualitas, lembut dan modelnya sesuai perkembangan selera, baik generasi millenial maupun orang dewasa, pekerja kantoran.

“Iya kak, karena kita ambilnya langsung di produsen Pekalongan. Siapa tahu ada temanta yang minat diorderkan batik bermotif khusus, utamanya di Kota Mamuju. Ke sini saja, ke Manara Batik,” pinta Ratna.

Berminatki?

Ricuh UFC 229 dan Kemarahan Khabib

Seperti prediksi, si Jalang Conor McGregor akhirnya mengiba, bersimpuh, bertekuk lutut pada Khabib Nurmagomedov alias Si Elang dari Russia . Pyswar, umpatan dan kesombongan Conor telah menghantarnya ke kuncian Khabib yang sungguh mematikan.

Pertarungan di Las Vegas tersebut menjadi heboh setelah seorang pria bernama Dillon Danis disebut sebagai target kedua Khabib yang ingin dilumpuhkan padahal dia ada di luar ring.

Sesaat setelah membuat Conor minta ampun, Khabib berpaling ke bangku penonton, dia melempar pengaman gigi dan bahkan memanjat melewat pagar pembatas dan melabrak pria yang disebut pemain Ji Jitsu. Dillon adalah sekondan Conor di kamp latihan.

Entah apa penyebab atau apa yang dibilang Dillon sehingga Khabib mempertontonkan amarahnya pada pemegak sabuk hitam bimbingan Marcelo Garcia di Alliance New York Academy.  Yang tak kalah seru adalah ketika ada anggota tim Khabib yang ikut menyelinap dan menghajar Conor di dalam ring. Suasana chaos terlihat di

Sebelumnya, pada konferensi pers, Khabib menyatakan bahwa Conor telah mengaitkannya ke agama, ke negara dan mengaitkan ke ayahnya.  “Dia datang ke Brooklyn dan merusak bus kami, dia hampir membunuh beberapa orang,” kata Khabib.

“Ini olahraga yang penuh hormat, ini bukan olahraga yang bicara sampah,” katanya.

Dia melanjutkan. “Saya tahu saya akan menghajar saya manakala saya pulang, saya tahu dia akan menghajar saya,” kata Khabib terkait hujatan Conor di konferensi sebelumnya.

Yang menarik, setelah kemenangan Khabib itu, dan penyerangannya pada Dillan juga diikuti oleh serangan Zubaira Tukhugov, petarung yang juga kelahiran Russia kepada Conor McGregor.

“Saya tidak tahu saya mau bilang apa sekarang, saya hanya muak setelah kejadian ini,” kata Dana White, Presiden UFC yang menggelar seri UFC 229 tersebut dan disebut menyiapkan hadiah sekurangnya 6 juta Dollar untuk kedua petarung.

Pertarungan antara Khabib dan Conor sangat menarik ditonton, Khabib yang punya keahlian bertarung dengan kuncian sesekali dihajar pukulan telak oleh Conor meski pukulan lebih banyak didaratkan Si Elang.

Pertarungan harusnya tidak merembes ke mana-mana sebab si Conor alias si Notorius yang juga memelihara bara dalam pikiran dan tindakannya.

Setelah insiden tersebut, nasib Khabib belum jelas, apakah bisa pulang ke Dagestan Russia atau harus berhadapan dengan otoritas di Amerika Serikat. Demikian pula Zubaira dan beberapa anggota tim lainnya.

Dana White saat konferesi pers mengatakan bahwa dia sangat kecewa. “Saya orang yang telah bekerja selama 18 tahun membangun olahraga ini sampai hari ini,” katanya.

“Tapi dia (Conor) bicara tentang agama saya, tentang keluarga saya, kenapa semua orang bicara saya yang meloncati pagar?” bela Khabib.

Akan ada drama setelah pertarungan dan kericuhannya ini. Saya membayangkan betapa sibuknya petinggi Negara Paman Sam dan Russia demi membereskan sentimen dari arena ring UFC ini.

Mengaitkan ke agama dan pribadi petarung seperti yang dilakukan Conor sungguh tak tepat tetapi kita juga perlu berpikir dua kali, apakah bagus jika respon dilakukan dengan beringas seperti yang dilakukan Khabib pada Dillon. Wallahu a’lam bishawab!