Sepanjang Jalan dari Binturu hingga Ujung Pettarani

Demi ibunya yang sakit parah, mantan tukang batu ini rela berpisah istrinya yang telah memberinya empat putra-putri yang masih balita. Dia tinggalkan keluarganya di Sulawesi Tengah dan kembali ke kampung halamannya, di utara Kota Makassar.

Cerita tak usai di situ, di kampung halaman, benih cintanya tumbuh pada perempuan setempat, rasa yang berujung aksi silariang penuh risiko khas Suku Makassar.

“Tapi itu pengalaman, masa lalu,” katanya saat kami melata di atas jalur Palopo – Makassar pada Senin, 19 November 2018.

“Menarik. Kutuliski ya,” kataku sembari mengeluarkan laptop dan mulai menyamarkan nama dan kampung halamannya.

Dia tersenyum.

***

Kami hanya berdua saat perbincangan hangat itu dimulai.

Saya duduk di kursi tengah, senang sebab meski di atas mobilnya hanya ada saya, dia tak lama-lama ngetem demi menambah penumpuang di Binturu.

Gegas ke Makassar adalah pilihan penting saat itu.

Saya juga bercerita tentang pengalaman pertemuan dengan warga asal Galesong bernama Daeng Serang di Kota Palopo di tahun 2004, sosok yang pernah diterungku di Lapas Takalar karena mengeksekusi istrinya yang minggat ke rumah Imam Kampung. Nun lampau.

Dalam bahasa Makassar, nama pria di samping kanan saya ini
dimaknai sebagai ‘yang cocok atau sesuai’ atau bisa juga disebut sebagai ‘Orang yang mau mengerti’.

Paddaengang itu melekat di namanya. Sosok ini membuat saya kagum karena mampu berbahasa Bugis, Makassar dan Palopo dengan fasih.

Obrolan dengannya bermula dari lagu-lagu yang diputarnya sejak mobil merangsek dari Kawasan Binturu pada waktu sekira pukul 2 siang. Di luar suasana sedang terik. Kaca mobil terus terbuka.

Lagu-lagu Iwan Tompo yang mendayu-dayu membuat saya larut dalam perjalanan yang sebenarnya melelahkan, karena terik serta terpaan angin tenggara nan kering.

Hari itu saya berangkat sepagi mungkin dari Sorowako dan mengaso sekira sejam sebelum bersua dengannya.

Lagu ‘Atiraja’ hingga ‘Sipuliang memang tongki’ dari Iwan Tompo yang mengalun dari tape-nya membuatku benam dalam kenangan perjalanan lintas provinsi pada tahun 2000-an.

Dari lagu itu pula saya membangun percakapan.

“Manna makkanynyang i lau, taku pelo’ sombalakku. Aule, kualleangna, tallanga natoalia,” kurang lebih begitu lagu Iwan Tompo mengalun di ruang dengar saat mobil Xenia miliknya melata di atas jalan raya Kota Belopa.

“Meski angin menderu di barat, takkan kugulung layarku, Aule, kupilih tenggelam dari pada surut ke pantai,” begitu arti lagu tersebut.

“Lagu ini sering kuputar, kalau sedang perjalanan jauh. Di Selayar, di Aceh, di Sumatera, di Kalimantan,” kataku ke padanya yang selama perjalanan beberapa kali menerima telpon dan berbahasa Palopo, diselingi Bugis khas Wajo.

Saat mobil masuk Kota Belopa, saya bergeser ke kursi depan.

“Saya aslinya dari utara Makassar. Kalau istri saat ini orang sana juga,” katanya membalas pertanyaanku.

Dia mahir ragam bahasa karena belajar bahasa Palopo dan Bugis dari tetangga rumahnya. Bahasa ibunya sebenarnya Makassar, serupa lagu Iwan Tompo itu.

Dia spontan bercerita tentang istri pertamanya saat saya menyebut betapa gempa Palu telah memperkuat solidaritas warga Sulawesi terutama Sulawesi Selatan.

Saat saya bercerita bahwa minggu kedua Oktober 2018 saya ke Palu bersama beberapa kawan, dia menyambut cerita saya bahwa istri pertamanya adalah orang Sulawesi Tengah. Dia menyebut salah satu suku di sana.

“Oh, jadi berapa istri-ta?” kataku bak terperanjat.

“Duaji,” jawabnya gegas.

“Dengan istri pertama, kami hanya bersama selama 3 tahun karena saya harus kembali ke kampung halaman. Ibu saya sakit dan saat itu saya harus merawatnya. Dia tidak mau ikut dan karena dia bilang tidak bisa ikut, maka saya pulang. Sendirija,” ungkapnya mengenang istrinya, istri yang menurutnya enggan menikah lagi hingga kini.

Dari istri pertama tersebut dia memperoleh empat anak, anak pertama kembar.

“Dengan istri pertama hanya 3 tahun. Anak pertama kembar, lalu lahir dua anak dua tahun terturut-turut, “ kata pria yang pernah ke Palu naik pesawat Bouraq dan harga tiketnya masih 35 ribu di tahun 80-an.

“Itu yang saya ingat soal harga tiketnya,” katanya saat kami tiba di Pare-Pare.

“Kita tahumi toh, saat itu susah cari pekerjaan di kampung, makanya saya ke Donggala dan Palu,” katanya.

“Logat Makassar-ta sama dengan bahasa Makassar saya yang asal Galesong (Takalar),” kataku memperkenalkan nama dan asal-usul. Dia mengaku komunikasi dengan istri pertama masih lancar, termasuk keempat anak-anaknya yang kini sudah berkeluarga.

Sebagai supir antar kota, dia terlihat bangga sebab meski sudah punya banyak cucu dia bisa mengisi hari-harinya dengan tetap bekerja, menikmati pekerjaan sebagai supir.

***

Tanpa sungkan dia bercerita bahwa perkawinannya dengan istri kedua tak mudah sebab ditempuh dengan status silariang.

Hal yang membuatnya pernah tidak tenang selama beberapa tahun namun tetap dijalaninya sebab ini adalah pilihan hidupnya.

“Saya ingat persis, ada tiga mobil yang cari saya di Palopo di tahun 90-an,” kata pria yang mengaku hanya menguasai tiga pekerjaan, mengayuh becak, jadi tukang batu dan sekarang ini jadi supir antar kota.

“Saya kembali ke kampung saat sudah punya anak dua orang. Motere abbaji,” katanya.

Motere abbaji artinya, datang menyambung silaturahmi ke keluarga istri atas nama adat dan niat tulus untuk diterima sebagai satu keluarga.

“Butuh waktu lama untuk bisa baik. Sebelumnya saya harus mengutus orang, lalu memberi penjelasan ke keluarga istri, ke kantor Camat, ke Kapolsek, demi abbaji itu. Seingatku di tahun 2005,” katanya.

Di kalangan komunitas Makassar, berbahasa Makassar, silariang adalah aib dan kerap berujung tragedi. Keluarga pihak perempuan biasanya akan melakukan aksi pembalasan ke lelaki, hal yang banyak terjadi di tahun 70 hingga 90-an di wilayah pesisir dan pedalaman.

“Saya hampir dua tahun dicari keluarga istri,” katanya sembari mengisap rokoknya dalam-dalam. Meski demikian dia bangga sebab setelah itu, ada wujud tanggungjawab dan kerelaannya untuk kembali. Hal yang membuatnya waswas juga.

“Saya malahan pernah ketemu keluarga istri di Palopo saat itu. Tapi dia tidak kenal saya karena rambut saya gondrong waktu itu,” ungkap pria yang lahir di tahun 50-an ini.

Di Palopo dia memilih mengayuh becak sebagai upaya menghidupi istri dan anak-anaknya selama di Palopo.

“Masa lalu saya sedih sekali. Mau sekolah tapi tidak bisa bertahan, hanya 3 bulan sekolah di Sekolah Dasar lalu berhenti,” kenangnya.

“Lebih banyak main-mainnya. Saya masih rasakan bagaimana sekolah dengan menggunakan papan tulis batu. Kelas 1 pun tidak selesai,” ujar pria yang mengaku bersaudara tiga orang ini.

“Saya ke Donggala tanpa ada keluarga di sana. Saya ikut teman sekampung dan bekerja sebagai tukang batu. Saya yang kerjakan Pasar Inpres di Donggala. Saya tinggal di Kilometer 2 Donggala,” kenangnya.

“Istri saya akan pulang ke kampung dalam waktu dekat, ada acara keluarga,” ucapnya terdengar optimis.

Dia juga bercerita bahwa cicilan mobilnya telah kelar beberapa tahun lalu. Hal yang membuatnya bisa mendapat pinjaman lagi dengan menjaminkan BPKP-nya.

“Untuk keperluan usaha,” kata pria yang mengaku tinggal di utara Kota Palopo ini singkat.

“Selama jadi supir seperti ini berapa pendapatan tertinggi yang pernah didapat?” tanyaku.

“Saya pernah dapat bersih sekitar 4 juta akhir tahun lalu hanya dalam tiga hari. Saya antar tiga orang dokter ke Bira, Bulukumba. Saya dapat uang bersih 2,5 juta lalu saat pulang ke Palopo, saya cari penumpang di pertigaan bandara, dapat penumpang 9 orang. Mereka bayar 200 ribu perorang,” katanya semangat.

***

Waktu menunjuk pukul 23.00 Wita saat kami sampai di ujung Pettarani Makassar. Saya pamit dan berterima kasih atas cerita, cerita yang telah menginspirasi saya atau mungkin kita semua tentang bagaimana memperjuangkan denyut kehidupan dan cinta.

Cinta dan kehidupan yang mana, silakan direnungkan.

Tamarunang, 22/11.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.