Menu Para Karaeng

18527344_10155345584532767_460779287819792119_oBeberapa waktu lalu, di puncak musim yang genit. Bertolak dari Tamarunang Gowa dengan berkendara roda dua, saya dan istri menyusuri sisi utara Kota Makassar. Berbelok kiri dari ex entry bandara Mandai.

Kami coba menyejukkan mata memandangi pohon-pohon jati, rindang mangga dan ruas-ruas jalan beton dari Desa Marumpa ke kawasan Pantai Kuri. Ada beragam agenda di pikiran.

Jujur saja ini bukan jarak yang pendek tapi siapa yang mampu mengingkari nikmat perjalanan dengan pasangan tercintahhh?

Melintasi poros Kuri mengingatkan saya pada tradisi dan pemaknaan agama oleh komunitas Bugis Makassar nan kuat di daerah ini. Maulid, a’rate, barzanji hingga appadongko pammaca. Kidung-kidung turiolo, pantun, kelong-kelong appanakku.

Cincing banca bero banca, atau sesekali saya bersiul dan melafal laturung bosiji paleng-nya Dian Ekawati. Sembari memandangi kiri-kanan jalan, empang dan rumah panggung.

Ruas jalan dari Kota Maros ke barat sesungguhnya tak teramat luas namun saya membaca hiruk pikuk kehidupan yang cair dan menggairahkan di sini.

Jikapun ada beberapa cerita yang sempat menyeruak maka itu adalah isu pernikahan dini, jumlah anak putus sekolah hingga kekerasan dalam rumah tangga yang sempat direkam oleh radar beberapa aktivis LSM di sana.

Pada trip ke Kuri itu saya juga mencatat betapa sungai-sungai kecil di sana telah begitu tulus menyediakan kekerangan, kepiting, rajungan, bandeng hingga donge-donge. Di sempadan tumbuh kelor dan pohon mangga yang menawarkan rasa genit masam namun bikin nagih.

Di perjalanan itu, setelah memfasilitasi pembentukan forum perempuan politik desa, saat makan siang tiba, kami disajikan menu akumulatif dari khazanah kekayaan Maros seperti disebutkan di atas.

“Inimi yang disebut makanan para Karaeng…” kata seorang teman yang menyertai perjalanan kami sebelum kami duduk assulengka di paladang rumah panggung itu.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.