Melanjutkan Spirit Perlawanan dari Takalar

Nama-nama seperti H. Dewakang Dg. Tiro, Daradda Dg. Ngambe, Abu Dg. Mattola dan Abd. Manna Dg. Liwang mungkin asing di telinga generasi muda Takalar atau Sulawesi Selatan secara umum. Padahal keempatnya merupakan sosok penting yang gigih memperjuangkan lahirnya pemerintahan Kabupaten Takalar. Karena merekalah, gagasan kabupaten otonom Takalar bergulir.

Tidak mudah, sebab saat itu Takalar telah digabung dengan Jeneponto. Urusan administrasi pemerintahan berada di Bontosunggu. Sesungguhnya, Takalar adalah daerah Onderafdelling yang tergabung pada Daerah Swatantra Makassar, meliputi Jeneponto, Gowa, Maros dan Pangkep.

Dalam upaya mencapai tujuan perjuangan tersebut, dibentuklah tim kecil yang menyuarakan aspirasi masyarakat. Mereka, para tokoh itu, segera menghadap ke Pemerintah, baik legislatif maupun eksekutif. Mereka menghadap Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan di Makassar guna menyalurkan aspirasi dan tuntutan masyarakat supaya Takalar bisa berdiri sendiri. Tentu dengan segala macam argumentasi. Landasannya jelas, spirit meneruskan perjuangan dan kebebasan mengelola sumberdaya pemerintahaan di Takalar didasarkan pada kompetensi, kapasitas dan kapabilitas berdasarkan latar belakang masing-masing.

***

Dua tahun kemudian, yakni tahun 1959 terbitlah Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1959 (LN No. 74 Tahun 1959) tentang pembentukan daerah-daerah Tingkat II Sulawesi Selatan dimana Kabupaten Takalar berdiri sendiri sebagai satu kabupaten dengan ibukota Pattallassang berdasarkan Perda No. 13 Tahun 1960. Bupati pertama bernama Donggeng Dg. Ngasa seorang pamongpraja senior.

Pemerintah provinsi saat itu melihat kegigihan dan keberanian untuk mengelola pemerintahan kabupaten sendiri. Sesuatu yang sebenarnya bisa diterima dan dipahami mengingat Takalar punya sejarah panjang perjalanan raja-raja kecil namun disegani seperti wilayah berdaulat Polongbangkeng, Sanrobone dan Galesong.

Ada hal menarik dalam proses menuju kabupaten otonom itu, yaitu bahu membahunya para Karaeng, atau Lo’mok (semacam penguasa wilayah) yang sepakat untuk melebur kekuatan dalam membangun kabupaten/distrik. Mereka cairkan ego dan sepakat berbagi posisi sebagai penopang Bupati terpilih yang memang “pamong sejati”. Keturunan Raja dari pesisir Galesong hingga Sanrobone berbagi kapasitas demi terwujudnya Kabupaten Takalar. Sosok penting dalam proses pemerintahan itu adalah Keturunan Raja Galesong, H. Bostan Daeng Mama’ja. Karaeng dari Galesong ini mendapat posisi penting sebagai pembantu Bupati.

Dua Pahlawan Nasional

Pada kacamata sejarah dan sosiologi pemerintahan, spirit perjuangan menuju kabupaten Takalar otonom itu merupakan titisan perjuangan para pendahulunya dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, bahkan bermula dari perlawanan pada Belanda semasa pemerintahan Kerajaan Gowa.

Dahulu, wilayah ini merupakan basis pertahanan Gowa yang ditunjukkan oleh pendirian benteng mulai dari Barombong hingga Sanrobone. Bahkan salah satu penentang Belanda dan Arung Palakka adalah Karaeng Galesong yang memilih meneruskan perlawanan dari laut selat Makassar kala Gowa takluk di tahun 1669. Sejarah mencatat bahwa pergolakan dan perlawanan sungguh-sungguh dan tangguh itu datang dari selatan Gowa.

Di wilayah administratif Provinsi Sulawesi Selatan, hanya Kabupaten Takalar yang mempunyai dua pahlawan nasional! Yang pertama adalah Ranggong Daeng Romo, ditetapkan tahun 2001, kedua Pajonga Daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng (2006). Mempunyai dua sosok pahlawan nasional rasanya membanggakan dan luar biasa. Jika misalnya, Karaeng Galesong yang kesohor itu juga disemati predikat pahlawan nasional, maka Takalar akan punya tiga pahlawan nasional. Para pejuang itu tentu menyimpan dimensi yang layak diapresiasi dan dibanggakan. Mengapa mereka begitu istimewa?.

Ranggong Daeng Romo, lahir kampung di Kampung Bone-Bone, Polongbangkeng, Sulsel pada tahun 1915. Beliau wafat pada 27 Februari 1947. Ranggong menempuh pendidikan di Hollands Inlandsh Schooldan Taman Siswa di Makassar setelah sebelumnya menimba ilmu agama di salah satu pesantren di Cikoang. Ia bekerja sebagai pegawai sebuah perusahaan pembelian padi milik pemerintah militer Jepang ketika menduduki Sulawesi. Ranggong muda dikenal karena memimpin penyerangan ke konsentrasi pasukan KNIL Belanda beberapa kali.

Pejuang lainnya adalah Pajonga Daeng Ngalle Karaeng Polongbangkeng, dia tipe pemimpin berwawasan luas dan mampu menggerakkan potensi pemuda melalui organisasi modern seperti “Gerakan Muda Bajeng”. Bukan hanya bermodalkan keberanian, dia juga terampil dalam mengorganisasi diri. Sebelumnya, Pajonga turut menghadiri konferensi raja-raja Sulawesi Selatan di Yogyakarta untuk mendukung pemerintahan Sulawesi Selatan di bawah komando Gubernur Sam Ratulangi.

Pajonga mengakui wilayahnya merupakan naungan Republik Indonesia. Pajonga juga berkolaborasi dengan Wolter Monginsidi untuk melawan tentara Belanda dengan membentuk Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia. Sungguh dia elite sekaligus pemimpin yang gigih.

Kecenderungan Kini

Nampaknya, secara sosiologis, membahas sejarah dan spirit kuat pergerakan sosial dan upaya menuju formasi pemerintahan sendiri di wilayah Takalar tidak bisa dipisahkan dari pengaruh tradisional penguasa lokal seperti pengaruh raja-raja lokal (Karaeng), dan otoritas kharismatik pada ulama-ulama atau penganjur agama Islam melalui pesantren-pesantren yang ada. Banyak tokoh penting di bentang sejarah Takalar merupakan pemuda keturunan raja yang juga terdidik baik di bangku pendidikan modern.

Mereka juga tekun membaca kitab-kitab keagamaan. Sebagaimana diketahui keturunan Sayyed (Syekh) banyak ditemukan di Takalar terutama di pesisir Sanrobone, mereka inilah yang memompa semangat perlawanan dengan menggelorakan kebenaran di atas segala-galanya dengan basis agama Islam.

Sebagai bagian dari kerajaan itu, para pemuda bertahan dan mencoba mengambil peran di “otoritas birokratis negara” seperti saat Belanda dan Jepang masih bercokol di Takalar. Namun mereka tetap bersiasat untuk menyusun agenda-agenda pembebasan, mereka tidak lengah pada janji Belanda. Mereka tidak betah di zona nyaman sebagai penguasa namun haknya dikebiri. Ini terlihat bagaimana mereka diterima, dididik namun akhirnya dikejar-kejar sebagai pembangkang atas rencana-rencana busuk Belanda pasca deklarasi kemerdekaan kita di tahun 1945. Semesta Takalar bergelora, rakyat atas komando keluarga raja dan pemuda terdidik serentak melawan kesewenang-wenangan, dominasi dan kebengisan KNIL Belanda.

Kini, di kondisi kontemporer pemerintahan dan situasi politik yang berkelindan tak menentu, saat hampir semua kabupaten/kota bahkan nasional, ditemukan adanya pergumulan spirit nasionalisme demokratis dengan agama. Antara bicara demokrasi dan pengarusutamaan nilai-nilai agama ada situasi lain, ketidakharmonisan pemerintahan dan ketidakefektifan birokrasi dalam melayani kebutuhan warga, termasuk cap “mis-management” yang banyak melekat di pemimpin-pemimpin modern.

Banyak kabupaten/kota didera masalah yang sama, korupsi dan ketimpangan sosial. Elite seperti berjalan sendiri, berjalan dengan simbol-simbol demokratis, religius namun menumpuk kekayaan sendiri dan melupakan akarnya. Mereka melupakan esensi perjuangan pendahulunya, para pahlawan nasional yang telah mencapai 191 orang (pertahun 2010).

Di Indonesia, saat makna otoritas kemuliaan status dan kharisma pengetahuan tentang islam kini semakin memudar, yang mengemuka adalah birokrat yang tidak jelas kandungan moral dan pemihakannya. Bisa jadi benar dugaan peneliti Islam dan Kekuasaan di Sulawesi, Thomas Gibson dalam bukunya “Narasi Islam dan Otoritas di Asia Tenggara” (Ininnawa 2011), bahwa model simbolik seperti ajaran agama, bahkan ilmu mistik yang dulu dimaknai sebagai kesadaran yang berubah dianggap (sebenarnya) masih memberi ragam alternatif atau kemungkinan yang lebih baik.

Namun jika melihat kecenderungan kini bahwa “kekayaan dan materi” semakin mendominasi kekuasaan atau pemerintahan, maka, sepertinya kita telah kehilangan pengetahuan simbolik (keagamaan) itu, dia berubah menjadi dominasi kekuasaan belaka yang tanpa nilai. Sesungguhnya, kita bisa menarik pembelajaran dari para pejuang Takalar dulu. Bersekolah, disiplin dan terampil dalam urusan agama. Mereka adalah penggerak perlawanan dengan modal pengetahuan (ahli), mereka bersekolah agama, terdidik dan berani mengambil keputusan.

Kesan bahwa kekuasaan dan otoritas tradisional keluarga bangsawan sebagai penghambat kemajuan ekonomi dan spiritual ternyata tidak terbukti, mereka bahkan mendapat gelar pahlawan nasional. Mereka tidak tenang saat hendak dimanja kekuasaan dan materi oleh Belanda. Rakyat Takalar mestinya berbangga, paling tidak malu jika spirit perlawanan dan kecemerlangan laku para pejuang itu tidak diejawantahkan dalam kehidupan sehari-hari.

5 thoughts on “Melanjutkan Spirit Perlawanan dari Takalar

  1. mmmm…
    tulisannya gurih namun menyengat daeng, seperti menyantap sanggara’ peppe’ na cobe’ tarasi….

    sepertinya memang perlu ada ikhtiar untuk melakukan trasformasi spirit kejuangan secara lebih sistemik….

    Like

  2. Semangat perjuangan dahulu memang di landasi oleh idealisme yg murni, sebut saja perjuangan Syekh Yusuf dan lain2.

    Kekinian, terkadang agama hanya dijadikan kendaraan untuk mencapai kepentingan pribadi.. 😦

    Like

  3. terus terang berat, karena saya sama sekali gak punya orientasi apapun tentang Takalar sehingga butuh waktu lama membaca postingan ini dan masih juga belum menangkap ‘ruh’nya.

    tapi gapapa, ditunggu tulisan selanjutnya tentang Takalar 🙂

    Like

  4. terus terang saya bangga membaca sejarah perjuangan rakyat Takalar, namun saya minta penulis juga mengupas Tentang sejarah Penamaan “TAKALAR”, saya yakin pasti punya makna nama “TAKALAR” dan juga dari manakah nama “TAKALAR” lahir, serta siapa-siapa tokoh yang melahirkan nama “TAKALAR”. konon kabarnya ada juga nama “TAKALAR LAMA” dimanakah nama itu berada…?

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.