Menyimak Hugua

Hugua di samping Ilham Arif Sirajuddin

Masih tiga puluh menit sebelum acara dimulai. Hugua, Bupati Kabupaten Kepulauan Wakatobi memilih berdiri di pojok ruangan. Para tamu anggota Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI) yang dijamu Walikota Makassar Ilham Arif Sirajuddin (IAS) duduk rapi. Hugua tetap berdiri, dia mengenakan baju lengan pendek hitam oranye yang juga dikenakannya sore sebelumnya.

Sebelumnya, di Hotel Sahid Jaya, antara pukul 16.00-18.00 Hugua membagikan pokok pikirannya, untuk kembali ke lingkungan dan alam semesta melalui bedah buku “Surgaisme, Landasan Tata Dunia Baru”. Itu bukunya. Lima dosen senior dari Unhas menguji buku itu. Kelimanya, Dr. Nunding Ram, Prof Dadang Ahmad, Prof Jamaluddin Jompa, Prof Irawan, Dr. Tadjuddin Parenta. Dari hotel dia langsung bergegas ke ruang jamuan milik Pemerintah Kota Makassar di sekitar pantai Losari.

“Eh kita belum ganti baju ini. Tapi tidak apa” katanya dengan senyum lebar. Di sampingnya, berdiri Ahmad Bahar, mantan wartawan Harian Republika yang kini jadi dosen di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Unhas. Beberapa alumni Ilmu Kelautan Unhas juga ada di dekatnya. Mereka terlihat akrab.

Malam 26 September 2011, pengurus Komda ISOI Makassar bersama Panitia Pertemuan Ilmiah tahunan (PIT) dan Kongres VIII mengadakan “Gala Dinner dan Diskusi Panel Pemerintah Daerah di Kabupaten Wakatobi dan Kota Makassar”, (26 September 2011). Hugua didaulat sebagai pembicara bersama Ilham Arif. Mereka panelis pada diskusi pengalaman pemerintah daerah dalam pengelolaan sumberdaya Kelautan di depan puluhan tamu. Bupati Bantaeng, Prof Nurdin Abdullah, salah satu panelis berhalangan hadir.

Atraksi menyulut Hugua (Foto: Kamaruddin Azis)

Menangguk Gelak

Hugua berbagi kabar dan prestasi pembangunan Wakatobi di bawah kendali pemerintahannya. Mulai dari keadaan umum Wakatobi, potensi dan tren kunjungan wisatawan dan peneliti kelautan. Sail Wakatobi hingga cerita mati lampu di Wakatobi saat Direktur PLN Dahlan Iskan berkunjung ke sana.

“Nyatakan kemerdekaan baru kita isi” kata Hugua menyitir kalimat Soekarno. Hugua menyebut ini untuk menunjukkan semangatnya saat dia melobi Jakarta untuk ngotot memasukkan Wakatobi sebagai salah satu kabupaten peserta Sail, satu upaya promo Kelautan seperti Sail Bunaken, Morotai, Belitong.

“Saat itu kami butuh dukungan regulasi. Dengan regulasi itu Wakatobi pun masuk sebagai lokasi Sail bersama Belitong. Rumit juga prosesnya”. Pemerintah pun menyetujui untuk memasukkan Wakatobi dan Belitong sebagai peserta Sail Belitong dan Wakatobi. Sail kembar.

“Sebenarnya, kekuatan APBD kita 1,3 Trilliun. Pada pelaksanaan Sail Wakatobi kita perkirakan ada 100 kali travel turisme dan itu menangguk 15 Milyar” Katanya.

“Saat meeting malam, lampu mati” Katanya terkekeh. Tapi itu tidak disengaja. Dan, benar saja perencanaan PLN untuk Wakatobi, tahun 2011 seluruh Wakatobi harus menyala. Dahlan Iskan akhirnya merasakan sendiri mati lampu di Wakatobi.

Mengenai kerjasama regional, Hugua menceritakan keinginannya untuk bergelutnya parawisata melalui dukungan transportasi udara. “Saya membayangkan jalur wisata hebat, bayangkan jika jalur Saumlaki di Maluku, masuk Wakatobi, lalu Taka Bonerate, Bira, dan Makassar. Bagaimana pak Walikota?” katanya bersemangat.

Hugua dikenal sebagai pemimpin luar biasa dengan segudang prestasi. Sosok ini dikenal luas hingga ke luar negeri karena inovasi pembangunan daerah. Ragam terobosan program dan kemampuan networkingnya telah mengangkat kabupaten kepulauan pecahan Buton ini sukses sebagai kabupaten baru. Dia rela memanggul brosur, poster dan dokumen untuk promowisata Wakatobi ke luar negeri.

“Saat mengikuti satu pertemuan di Jepang beberapa waktu lalu, Saya dijuluki Bupatinya Ikan-ikan. Betapa tidak 97 persen Wakatobi adalah laut, dan hanya 13% daratan” Kata Bupati pertama Wakatobi hasil pemekaran kabupaten Buton. Wakatobi adalah akronim dari Pulau Wangi-wangi, Kaledupa, Tomia, Binongko. Penduduknya berjumlah 111Jiwa.

“Saya jadi Bupati, tahun 2006, Saat ditanya sebagai nakhoda, hendak ke mana perahu anda bawa? Hendak ke mana perahu Wakatobi, saat itu masih euforia demokrasi. Haluan sudah ada. Pendekatan berkaitan dengan visi, kemudian saya bilang, ke SKPD dan Badan kemudian, mari lihat biodiversity” paparnya.

“Jika Laut Merah mempunyai 300 hard and soft coral,  Wakatobi punya 750 jenis terumbu karang. 90% Biodiversity terumbu karang available in Wakatobi. Jadi wajar kita sepakat mewujudkan “Surga Wakatobi di Segitiga Karang Dunia” tandasnya mengenai visi dan arah pembangunan Wakatobi di bawah kendalinya. Dia sangat fasih berbahasa Inggris.

“Tapi saya percaya bahwa terlalu banyak aktivitas ekonomi pasti akan menguras alam semesta” papar lelaki penulis buku “Kaya Miskin adalah Pilihan”. Bukunya ini telah rilis sebanyak 100ribu di Gramedia. Buka lainnya, Lelaki itu Hugua. Semuanya telah habis.

Warga Wakatobi menggantungkan hidupnya pada perikanan dan parawisata laut, itu adalah The living room masyarakat dan ini harus dijaga keseimbangannya.

“Sejauh ini telah ada ratusan peneliti kelautan ke Wakatobi, telah ada 3-4 Doktor yang berhasil karena menjadikan Wakatobi sebagai lokasi penelitian. Kita perlu payung kerjasama mengawal Wakatobi. Itulah mengapa tadi siang kami menandatangani MoU dengan Unhas untuk mendukung Wakatobi. Bukan hanya itu, kami juga menjalin kerjasama dengan Haluuleo, beberapa universitas di Irlandia dan banyak lagi” kata aktvis LSM ini.

Di acara itu sukses menangguk pujian, gelak tawa dan tepuk tangan. Malam itu adalah malam Hugua. Betapa tidak, ada momen yang membuat peserta berdecak kagum. Kisahnya tentang pelaksanaan Belitong dan Wakatobi yang berliku, kupasan mengenai buku yang ditulisnya, hingga penolakannya pada usulan eksplorasi minyak di Wakatobi.

“Nanti, saat cadangan minyak di Indonesia habis baru bisa menambang minyak di Wakatobi” katanya dengan berapi-api. Peserta bertepuk tangan.

Paparan IAS

Kepada para tamu, Walikota Makassar yang duduk disamping Ir. Bachrianto Bachtiar, M.Si moderator diskusi yang juga dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Unhas memberikan apresiasi kepada ISOI yang menjadikan Makassar sebagai tuan rumah PIT dan Kongres VIII.

IAS dapat cinderamata dari Prof Indroyono Soesilo (Foto: Kamaruddin Azis)

“Selamat datang di Makassar. Makassar yang aman. Tidak seperti yang diberitakan media. Yang digambarkan itu hanya seukuran layar televisi” katanya. Sebagai tuan rumah, Walikota Makassar menyinggung pula SDM, semua dari Makassar atas kandidat ketua ISOI yang akan berkompetisi pada kongres keesokan harinya.

“Kepemimpinan baru dan semangat baru untuk ISOI” kata pak Walikota, hadirin bertepuk tangan. Ketua ISOI Pusat Prof Dr. Indroyono Soesilo ketua umum ISOI sebelumnya memberikan cinderamata berupa plakat dan topi kepada Walikota Makassar. Pak Ilham pun mengenakan topi putih biru yang diserahkan oleh Prof Indroyono.

Seakan tidak mau kalah dengan pemaparan Hugua, Ilham Arif juga memaparkan bahwa Makassar punya pantai sejauh 35 km, ada 11 pulau dan banyak jenis biota laut.

“Kita ingin Makassar memiliki posisi yang sama pada masa lalu sebagai kota utama. Mencoba mewujudkan menjadi kota dunia dan melihat potensi dan muatan lokal yang ada. Walau berbeda kultur namun kita mendorong Makassar sebagai ibukota Sulawesi Selatan dan mampu melayani semua pihak”.

“Baru saja kami melaksanakan Festival bahari an rata-rata pengunjung mendekati 50 ribu. Pada saat penutupan diperkirakan 150irbu pengunjung. 4 jam pantai Losari stagnan, semua ikut meramaikan” tandas IAS.

Pada gala dinner dan diskusi panel itu, Hugua memberikan kado tiga buku hasil tulisannya kepada Walikota Makassar. IAS menghibur para tamu dengan atraksi “pepe-pepeka ri Makka”, satu hiburan yang ditampilkan dengan membawa suluh api yang siap membakar.

Mendebarkan karena Prof Indroyono Soesilo, didaulat naik untuk disulut lengannya. Setelah Indroyono, kemudian disusul Hugua dan seorang tamu wanita berkulit putih. Semuanya sukses disulut api namun tidak terbakar.

3 thoughts on “Menyimak Hugua

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.