Asdar Muis RMS, Penyair Langka

Asdar Muis RMS (foto dari FB beliau)

Dalam perjalanan kembali ke Makassar, 11 Pebruari 2011, saya mendengar lengkingan suara dari radio FM yang diputar saat mobil kami melewati jalan poros Barombong – Makassar.

Saya minta pak Nur, sopir di kantor yang menemani untuk membesarkan volume radio. Wah, suara dengan intonasi yang sangat tegas itu mengingatkan saya pada tahun 2005 saat kerja di Palopo, Sulawesi Selatan. Hampir tiap minggu, suara itu mengisi kolom udara dengan program siaran bertajuk “Kolom Udara Asdar RMS”.

Siang itu, enam tahun kemudian, suara itu kembali saya dengar di Makassar. Masih dengan tajuk yang sama, “Kolom Udara Asdar Muis RMS”. Apa yang menarik? Apa yang berbeda? Suara Asdar yang jelas, tegas dan tajam dengan ritme yang mengalun indah itu adalah daya tariknya. Sangat bertenaga dan berkarakter “Makassar”.

Saat itu, Asdar memulai puisinya (mungkin tepatnya, sajak) dengan tertawa terbahak-bahak. “Ha ha ha eh eh eh”, begitu bunyinya. Lalu kata satu persatu meluncur dari mulutnya. Dia meledek bagaimana banyak orang bicara demokrasi, tetapi menunjukkan prakteknya dengan memaksa.

Dia “mempuitisasi” beberapa kisah – pengalamannya, semisal, saat ada pertanyaan mahasiswa dalam satu seminar politik-kebudayaan, mengajak orang lain untuk Golput, tetapi menyampaikannya dengan tidak santun, bahkan membelakangi pembicara.”Bagaimana mungkin mahasiswa bicara demokrasi sementara kalian memaksakan kehendak?” Kata Asdar. Juga menyoal bagaimana keseharian kita dijejali banyak fakta miris tentang betapa tidak konsistennya kita bicara demokrasi.

Tentang, betapa pemaksaan pada aras grass root telah kasat mata dan mengancam sendi-sendi kehidupan kita.

“Bahkan tukang parkir pun, memaksakan kehendak dengan menentukan tarif parkir sesuka hatinya,” teriak Asdar garang. Mendengar suara dan pesan yang disampaikannya yang ditutup oleh kala penulisan sajak 19 Juli 2004, saya membaca konsistensi dan sikap kritis Asdar RMS pada geliat sosial dan dominasi politik yang berkelindan di segala sendi kehidupan warga. Dengan menggunakan media seperti radio, Asdar mengingatkan kita tentang betapa rentannya sendi kehidupan kita karena terjadi banyak inkonsistensi, borok politik, dan cacat sosial.

3 thoughts on “Asdar Muis RMS, Penyair Langka

  1. Kak Asadar, guruku, awal ketertarikanku pada puisi. Selalu membuatku merinding di malam renungan RIKHAS (Remaja Mesjid Ikhtiar Unhas) Baraya. Sangat pas jika membawakan puisi Sutarji. namun puisinya yang paling berkesan “Pada Aortaku yang Terdalam” 87-89

    Like

Leave a reply to cheng prudjung Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.