Mengintip Komunitas Ininnnawa, Saat Niat Saja Dianggap Tak Cukup

“Hanya budi baik yang akan saling mencari, saling menjaga, dalam kenangan tanpa akhir – pepatah Bugis”

****

Sejak booming pada rentang tahun 90an di Sulawesi Selatan, eksistensi LSM kemudian dipertanyakan oleh banyak pihak, pemikir, akademisi dan bahkan aktivis mereka sendiri pada awal tahun 2000an. Ini mengemuka sejak terjadinya banyak keganjilan prosedur dan jati diri diri mereka yang serba bunglon. Yang jamak terlihat, satu kaki di komunitas dampingan, satu kaki di ketiak pemerintah. Pemihakan mereka diragukan.

Para pegiat LSM mengambil peran “antara” saat terjadi krisis ekonomi di pertengahan tahun 90an walaupun kemudian terbukti bahwa ternyata mereka tidak lebih dari lembaga parasit. Banyak dari mereka berperkara hukum karena ditengarai melakukan praktek korupsi (ingat kasus KUT?). LSM-LSM yang berkibar di periode itu lambat laut meredup dan kehilangan jejak-jejak historisnya.

Rupanya, tantangan terberat bagi LSM adalah menjaga kejujuran dan transparansi. Banyak dana yang mereka kelola ternyata ditopang oleh kapasitas lembaga yang tidak memadai. Akibatnya, terjadi mismanagement atau misleading fungsi gerakan mereka. LSM dituduh berdiri hanya mengejar keuntungan belaka padahal di ranah hukum formal mereka menganggap dirinya non profit organization.

Setelah dilacak satu persatu, rupanya banyak sekali LSM yang cacat prosedur dan akuntabilitas. Mereka berdiri karena ditopang oleh person atau figur yang bekerja di pemerintahan dan kerap sektarian atau berpihak pada kepentingan politik tertentu. Apa yang bisa transparan jika LSM adalah bagian dari struktur kekuasaan? Ada keingintahuan yang teramat besar untuk mengetahui sepak terjang LSM. Pers mulai mengendus satu persatu praktek kotor LSM karbitan tersebut.

Pers menyebut ini adalah karena adanya kegagalan regulasi oleh pemerintah atas keberadaan mereka, ada juga yang menyebut karena LSM meyalahgunakan amanah dan hak istimewa yang diberikan oleh masyarakat, ada juga yang menyebut karena LSM tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri.

LSM-LSM di Makassar yang kuat secara managerial dan jumlah program yang dikelolanya pada tahun 90an lambat laun meredup. Sangat sedikit LSM yang kemudian tampil sebagai corong warga setelah dekade itu. Bukan hanya LSM yang memilik mashab “pro poor dengan entry gerakan ekonomi” tetapi juga LSM lingkungan dan advokasi. Tahun 2000an bermunculanlah lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang mulai terpolarisasi fokus kajiannya, sebutlah yang fokus kesehatan, HIV-AIDS, pendidikan, tenaga kerja, hingga terumbu karang.

****

Saat mulai bergiat di Aceh pada awal tahun 2006, satu organisasi komunitas yang saya kenal dari buku bacaan dan internet adalah “Komunitas Ininnawa”. Selain dia, ada pula nama “Media Kajian Sulawesi”, mereka serupa tapi tak sama. Jika dulu, kita kerap mengidentikkan LSM dengan siapa direktur atau ketuanya, demi mencari posisi dan pemihakan mereka berdiri maka kali ini saya kehilangan figur. Nama-nama yang saya temui adalah nama-nama asing dan nyaris setara.

Nama mereka berpendar pada buku-buku cerita, puisi, cerpen, jurnalis warga, penyunting buku dan bahkan penerjemah. Orang-orang di balik Komunitas itu adalah pekerja dengan berbagai keahlian. Yang mengejutkan, banyak dari mereka masih berstatus mahasiswa! Mahasiswa yang senantiasa memelihara niat baik dan saling mencari, mematok rencana dan mungkin kenangan tanpa pamrih.

Tahun 2006 awal, saya adalah pembaca blog namun bukan blogger, ya semacam orang baru melek internet. Saya kerap berselancar di dunia maya, dan mencari nama-nama top aktivis LSM dari Makassar pada kurun waktu tahun 90an hingga pertengahan 2000an. Tidak banyak nama yang saya peroleh. Figur-figur yang saya anggap sebagai dedengkot LSM saat itu sedikit sekali, kalau tidak mau disebut ada. Rupanya nama mereka di internet nyaris tak tercatat.

Alasan sederhana mengapa saya mencari nama mereka di internet, jika mereka aktivis LSM berprestasi atau menjadi tokoh di bidangnya, tentulah sejarah “melalui tulisan” akan mencatatnya. Yang muncul dan kerap menjawab kebutuhan informasi saya melalui internet malah “anak-anak baru”. Anak-anak mahasiswa yang kemudian ternyata telah bergiat dengan spketrum dengan daya kritis yang menakjubkan.

Nama-nama mereka muncul dengan berbagai aktifitas seni lokal, mendorong pendidikan kritis warga dan segudang karya literasi yang tak lazim, yang nyaris tak pernah disentuh oleh LSM pendahulunya. Mereka adalah pekerja layaknya LSM yang cerdas memanfaatkan teknologi dan tentu saja paham kapasitas mereka.

Saya berkenalan dengan mereka dari buku. Seingat saya, di tahun 2007 saya peroleh buku “Setapak Salirang”, buku besutan InsistPress, April 2006, dimana salah satu dedengkotnya adalah Roem Topatimasang yang pernah melatih kami tentang advokasi di Kabupaten Selayar pada tahun 2000. Adalah M. Aan Mansyur yang memberikan buku ini sekaligus memberi tanda siapa para anak muda berdedikasi ini.

Buku ini adalah cermin bagus bagi saya membaca kiprah nama-nama yang telah saya akrabi dari internet, dari mailing list dan tentu saja perkawanan maya. Mereka menyebut dirinya, sebagai bagian dari “Komunitas Ininnawa”, satu perkumpulan biasa yang ternyata tak biasa.

Mengenal Ininnawa

Saya berkenalan dengan salah satu tokoh kunci di Komunitas yang tak biasa ini, namanya Dandi, lengkapnya Nurhady Sirimorok, saat masih bekerja di Aceh. Saat itu dia sedang di Belanda menimba ilmu sosial di salah satu universitas favorit di Den Haag. Di kumpulan cerpen, ”Setapak Salirang”, saya terpikat dengan cara dia menceritakan, seorang ayah bernama Lapadoma yang menggendong anaknya saban hari demi keinginan menyekolahkan anaknya. Saya membaca kedalaman penguasaannya atas fenomena desa, karaktek warga atas tren perubahan zaman. Walau awalnya agak liat diajak bicara (chatting) via internet namun akhirnya kami kerap chatting dan bertukar gagasan. Sosok ini adalah teman diskusi yang baik.

Hingga kemudian dia menyebut Komunitas Ininnawa, sebagai payung bersama mereka, mereka para mahasiswa, penulis, cerpenis, peneliti dan praktisi yang punya minat teramat kuat di ranah pemberdayaan masyarakat. Mereka adalah sekumpulan anak Sastra Inggris, Universitas Hasanuddin. Esensi perubahan sosial hanya bisa tercapai melalui cara transformatif.

Menurut Dandi, seperti yang saya kutip dari website komunitas yang direkomendasikannya, alasan utama berdirinya Ininnawa adalah pentingnya mengambil peran dalam mendorong perubahan sosial. Angin perubahan pasca lengsernya Suharto menjadi pemicu bagi belasan anak muda kampus untuk mengambil peran dalam mendorong perubahan sosial.

Saat dia menyabut nama Ari, salah satu pendiri Komunitas yang juga studi di Amerika, saya kemudian ingat bahwa Ari yang dia maksud adalah Ari yang saat saya bekerja di salah satu proyek besutan LSM Amerika, ACDI/VOCA adalah penerjemah saat kami menyelenggarakan “in-service training” pada sekitarawal tahun 2005. Saat itu saya bekerja sebagai Training Coordinator untuk wilayah Luwu dan Luwu Utara pada program Success Alliance. Ari yang saya temui tahun 2008, sudah sangat berbeda, yang pasti terlihat sangat gemuk.

Orang pertama yang saya temui saat hendak bertemu dengan mereka adalah M. Aan Mansyur. Saya ingat persis, saat saya mengajak Aan datang ke rumah di Sungguminasa pada tahun 2007. Penggambaran yang jauh api dari panggang. Bayangan saya, bahwa dia (seperti yang saya baca dari sajak dan cerita-ceritanya, lelaki flamboyan, dandy, necis luruh saat melihatnya datang dengan baju tshirt, dan tas kain sederhana.

Tampilan Aan, pengelola Café Baca Biblioholic yang sederhana, rupanya mewakili kesan saya pada penggiat di Komunitas Ininnawa. Nama lainnya adalah Anwar Jimpe Rahman, nama ini adalah nama yang kerap saya temui jika ada buku yang diterbitkan oleh Ininnawa. Jimpe adalah editor atau penyunting pada kumpulan cerpen “Setapak Salirang” itu.

Saya berani bertaruh, Dandi yang doyan meneliti, Ari yang gigih mencari sumber pembiayaan bagi komunitas, Aan yang doyan membaca dan juga flamboyan menggenapi hidup Ininnawa, Jimpe yang piawai menyunting informasi dan fakta adalah – back bone – bagi Komunitas ini. Belakangan saya berkenalan juga dengan supporters yang tidak bisa dianggap kecil kontribusinya, Sonny dan Armin yang mahir di proyek dokumentasi kegiatan, Anna yang akrab dengan komunitas kaum muda dan pemerhati gender issues, Ancu yang jago di media development, dan banyak lagi. Komunitas yang komplit.

Tapi mereka menganggap bahwa niat saja tidak cukup. Mereka harus menempuh strategi lanjutan untuk menetaskan gagasan besarnya. Saya kira, sebagai mahasiswa (mungkin beberapa dari mereka telah selesai dan berkeluarga), mereka tidak lebur dalam riak amarah, pada anarki yang harus selalu di pertontonkan sebagaimana lazimnya mahasiswa di Makassar.

Dari 198 pilihan strategi perubahan sosial (seperti yang saya baca dari berbagai sumber), mereka memilih mendorong kesadaran kritis lapisan masyarakat dengan memahami isu-isu sosial secara jernih melalui “buku dan membaca”. Seperti yang kerap disebut Aan, mereka percaya bahwa membaca adalah salah satu jalan paling efektif untuk membuka pikiran khalayak luas. Satu pilihan untuk mendorong transformasi pengetahuan dan daya kritis secara komunal.

Mungkin tidak sementereng dan semaju LSM sebelum mereka, yang punya proyek milyaran dan mengklaim banyak wilayah program namun bagi saya, Komunitas Ininnawa dalam perkembangannya, seperti dikutip dari website mereka, mereka layak dipuji pada inisiatif dan gagasan besarnya. Komunitas ini menaruh perhatian yang kuat pada mendorong pentingnya minat baca.

Kelompok mahasiswa yang pada awalnya beranggotakan 12 orang itu melakukan penelitian tentang minat baca mahasiswa di jurusan mereka. Hasilnya tak terlalu mengejutkan. Hanya 30% mahasiswa yang mengaku rutin membaca.

Komunitas ini lalu mengumpulkan buku-buku koleksi pribadi dan menjalankan kampanye baca. Setiap hari, tiap anggota kelompok ini membawa buku di tasnya dan mempromosikannya ke teman-temannya. Bak penjual obat keliling. Tentu saja, mereka harus membaca buku-buku itu terlebih dulu, sebelum memutuskan buku mana yang bisa menarik perhatian mahasiswa paling ”alergi” membaca sekalipun.

Secara formal, pada Juni 2000, Komunitas ini, yang bernama “Pusat Kajian Budaya Ininnawa” akhirnya disahkan di hadapan akte notaris. Ininnawa berasal dari bahasa Bugis yang artinya niat baik atau visi. Dalam anggaran dasarnya tercantum tujuan pembentukan organisasi ini adalah ‘melahirkan individu-individu dalam masyarakat yang bertanggung-jawab untuk memahami dan memberdayakan nilai-nilai budaya lokal”.

Alur dan bangunan kesadaran mereka yang berujung pada kerja-kerja sosial dan minim asupan dari luar ini adalah salah satu prasyarat tumbuh kembanganya LSM. Mereka telah menunjukkan bahwa banyak hal yang bisa dilakukan tanpa menetek pada pihak luar. Dalam sederhana sumberdaya, mereka berkolaborasi membangun kesepahaman dan mulai kerja nyata.

Mereka menyadari bahwa akses terhadap informasi dan sumber dana menjadi masalah yang dapat mengganggu perjalanan mereka, sekaligus akar dari berbagai masalah lainnya. Untuk tetap bergerak dengan dana minim, Ininnawa memilih berkolaborasi dengan kelompok-kelompok lain, dengan atau tanpa memasang nama Ininnawa. Ini ternyata cukup membantu memperluas jaringan dan menjadi proses belajar yang sangat berguna.

Saya kira, mereka tetap taktis dalam menyikapi keadaan mereka dengan mengambil peran, sebagai misal (dikutip dari Website mereka): keterlibatan pada Festival dan Seminar Internasional La Galigo, yang diselenggarakan oleh Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian, UNHAS. Acara yang dilaksanakan pada Maret 2002 ini dihadiri oleh ilmuwan dan budayawan dari berbagai belahan dunia. Contoh lain adalah Program Pelatihan Penelitian Lapangan yang diadakan oleh FASID (Foundation for Advanced Studies on International Development), sebuah pusat studi yang berbasis di Tokyo.

Komunitas Ininnawa ini, layak menyandang predikat sebagai LSM yang mandiri dari awal. Mereka tidak dibentuk karena ada pesanan dari luar, sebagaimana lazimnya LSM yang kemudian berperkara seperti yang saya sebutkan di awal tulisan ini. Mereka berada pada jalur memediasi ruang belajar tanpa batas.

Kian meluasnya jaringan dan simpul pertemanan khas Ininnawa membuat aktivitas organisasi yang basis keanggotaannya amat cair ini terus melebar. Saya kita, mereka dapat disandingkan dengan salah satu komunitas citizen journalism yang berbasis di Makassar yang giat menyuarakan issu warga semisal Komunitas Panyingkul. Bahkan, mereka kerap bekerjasama dan bahu membahu mendorong kesadaran kritis berbasis warga.

Sebagai simpul gerakan, Komunitas Ininnawa sebagaimana layaknya Yayasan yang punya hak membangun pondasi organisasi berdasarkan sumberdaya yang mereka punyai juga tidak luput dari diversifikasi kegiatan dan program kerja. Kini mereka menginkubasi organisasi-organisasi yang dikelola oleh orang-orang mereka, orang-orang yang peduli pada visi Ininnawa.

Sebagai komunitas mereka mempunyai “rumah tangga” yang dikelola oleh “kepala rumah tangga” semisal: Rumah KAMU (Kaum Muda), adalah organisasi non-pemerintah yang bekerja di bidang pendidikan alternatif untuk remaja. Lembaga ini didirikan pada tahun 2003 oleh alumni Program Pelatihan Penelitian Lapangan FASID, dimana dua pendiri Ininnawa juga terlibat dalam proses pendiriannya. Misi Rumah KAMU adalah menjadi Ornop terpercaya dalam memfasilitasi kaum muda untuk tumbuh dengan pikiran kritis, bersedia memberi sumbangsih nyata terhadap masyarakat sekitar, dan dunia. Salah satu kegiatan utamanya adalah Youth Camp, pelatihan penelitian lapangan untuk siswa/i SMA.

Media Kajian Sulawesi Lembaga ini berdiri pada tahun 2002 oleh sejumlah mantan fasilitator program FASID. Tujuan pembentukannya adalah melibatkan diri dalam membantu masyarakat lokal menemukan identitas mereka dalam proses pembangunan, agar memiliki kepercayaan diri lebih tinggi dalam percaturan global. Selain itu, organisasi ini juga bercita-cita untuk menjadi media informasi terpercaya yang mengumpulkan dan menyebarkan segala informasi tentang pewujudan identitas komunitas lokal dalam proses pembangunan.

Biblioholic, Biblioholic adalah kafe baca yang dimiliki oleh Ininnawa dan digawangi oleh M. Aan Mansyur. Ide dasarnya adalah menyediakan ruang yang nyaman bagi para pencinta buku untuk berkumpul. Kafe baca ini juga menjalankan pelatihan menulis kreatif serta diskusi buku rutin.

Penerbit Ininnawa, ini adalah wujud lain dari proses metamorfosa di tubuh Ininnawa. Penerbit ini diniatkan menjadi salah satu ujung tombak penyebaran gagasan tentang identitas lokal dan perubahan sosial secara umum. Terbitan pertamanya, Warisan Arung Palakka, diluncurkan pada April 2004.

Saat ini, menjelang ulang tahun Komunitas Ininnawa yang ke-10, mereka layak berbangga dengan segudang pengalaman yang layak diutarakan. Saya layak cemburu dengan pencapaian dan daya juang mereka. Jika dilihat dari kurva siklus teori organisasi, mereka masih berada pada titik antara titik nol dan puncak grafik pertumbuhan. Mereka mesti melihat posisi itu dengan serius dan tanggap, apakah tetap menapak puncak atau sebaliknya, di tengah ancaman kebutuhan personal yang semakin terpolarisasi seiring bergeraknya waktu dan perubahan situasi eksternal lingkungan mereka.

Namun bagi saya, yang telah memetik banyak pelajaran dan perkawanan yang bermutu dengan mereka, jika saja Komunitas Ininnawa adalah “perusahaan” dan saya adalah pemilik modal melimpah (katakanlah seorang tua dari pelosok pegunungan Bawakaraeng dengan hamparan sawah seluas samudera), dengan gambaran capaian dan orang-orang berdedikasi seperti di atas, tentu saya akan membeli sahamnya untuk kemudian mengambil dan memaksimalkan yang berguna, membenahi yang masih jalan ditempat.

Pertimbangannya jelas, mereka bukan LSM atau komunitas karbitan yang getol memburu proyek pemerintah, mereka juga ditopang oleh aktivis kampus yang berpengalaman dan fokus di bidangnya, kreatif dan tentu saja tidak pernah tersangkut perkara hukum. Satu hal yang mungkin harus ditepis adalah, ketakutan jika saja mereka, para aktivis itu digaet oleh “investor” lain dengan niat yang ganjil.

Bagaimana dengan Anda?

Makassar, 02022010

2 thoughts on “Mengintip Komunitas Ininnnawa, Saat Niat Saja Dianggap Tak Cukup

  1. Mohon bantuan adik, adakah kita simpan klippingpklipping berita atau Sdp yang komplain masalah tenaga kerja di Kota Makassar ?. Saya butuhkan untuk bahan kelengkapan studi S3 saya. TQB4.

    Like

  2. Ininnawa merupakan tempat pemuda untuk berbuat ke arah transformasi sosial, seperti visi dan misi dari ininnawa, Alhamdulillah selama kuliah saya mencari untuk bertemu dan akhirnya telah terjawab untuk bertatap muka.

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.