Cerita Dari Bedah Buku, "Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara"

Tanggal 07 Nopember 2009, saya diminta memandu (dan dengan diam-diam menuliskan beberapa hal) diskusi buku berjudul “Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara (SPTN)”, penulisnya Muhamad Ridwan Alimuddin. Bagi kebudayaan maritim Mandar, penulis yang lahir di Tinambung pada 23 Deesember 1978 merupakan nama yang sangat layak diapresiasi.

Saya mengenalnya saat tahun 1999, saat masih berstatus mahasiswa pada Fakultas Perikanan,UGM Yogyakarta. Kala itu kami dalam perjalanan menuju Kota Benteng, Selayar. Saat satu persatu penumpang turun dari fery dan bergegas menuju kota, saya melihat Iwan, panggilannya, bukannya berkemas tapi malah mengambil fins dan berenang di sekitar pantai Pamatata, Selayar. Saya yang sudah beberapa kali berkunjung ke Selayar saat itu berpikir “orang ini pasti punya jiwa meneliti yang tinggi”.

Di http://www.panyingkul.com, saya bertemu lagi dengannya, 9 tahun kemudian, dan saat bertemu itu saya dengar dia telah menerbitkan buku yang “provokatif”, semisal, “Mengapa Kita (Belum) Cinta Laut?” juga “Orang Mandar Orang Laut, Kebudayaan Bahari Mandar Mengarungi Gelombang Perubahan Zaman”. Kedua buku ini merupakan buah dari keuletannya menyelami khasanah kebudayaan bahari semenanjung yang belokus Tanah Mandar.

Buku “SPTN” ini, diterbitkan oleh Penerbit Ombak Yogyakarta, bekerjasama dengan Forum Studi dan Dokumentasi Sejarah dan Kebudayaan Mandar serta Yayasan Ad-daras Matakali.

Jika membaca pengantar dari penulis maupun dua orang pemerhati Sandeq, yaitu Andi Masri Masdar, ST, M.Par dan Horst H. Liebner, buku ini nyaris mewakili dua kepentingan, antara urgensi penelitian kebudayaan lokal dan pragmatisme dalam memanfaatkan kreasi kebudayaan sebagai pintu masuk pembangunan kawasan Sulawesi Barat.

Hal yang tak lazim (yang juga diakui oleh pembanding dalam diskusi buku ini) karena terdapat 40 halaman yang menyebutkan dan menjelaskan istilah yang terkait dengan bagian sandeq dalam berbahasa Mandar. Empat puluh membahas detil dan makna “kata Mandar” setebal 40 halaman seakan menunjukkan bahwa Iwan telah menelisik satu persatu bagian dari sandeq itu sendiri.

Cakupan Buku

Sesuai dengan namanya, buku ini mengulas tentang Sandeq, dari mengenal gagasan membangun perahu hingga proses beralihnya ke rencana perlombaan sandeq. Terdapat 12 judul tulisan tentang “tetek-bengek” sandeq, ini dapat dibaca mulai dari halaman 1 hingga 82.

Pada bab berikutnya menyoal, perlombaan sandeq di sini terdapat 20 judul tulisan yang dapat ditemui di halaman 83 hingga 190. Sebagai perbandingan, penulis juga tidak lupa menyertakan cerita tentang eskspedisi sandeq yang gagal, yang tertuang pada 5 judul di halaman 191 hingga 226.

Dalam perkembangannya, merespon dinamika lokal yang hendak melihat sandeq sebagai kreasi anak bangsa dari bumi Mandar, penulis mencoba mengangkat fenomena Sandeq sebagai ciri lokal sekaligus sebagai salah satu kreasi khas yang hanya bisa dijumpai di tanah Mandar. Tentang ini, penulis menyoal tentang “logo dan ide paten” pada hal 227-250.Pembaca bisa menduga bahwa sandeq ternyata memang sulit dipatenkan, dan penulis mempertegas lagi dalam salah satu bagian yang disebutnya, “epilog; meratapi sandeq terakhir pada hal 251-262.

Buku ini berisi tulisan-tulisan Iwan pada rentang tahun 2001hingga 2009 yang dimaksudkan dapat mempertegas ihwal mengapa perahu sandeq layak menyandang predikat sebagai perahu tercepat di Nusantara.

Iwan sendiri menyebut bahwa buku ini adalah milik masyarakat mandar. Sedangkan Andi Masri Masdar yang mewakili Yayasan Ad-Daras Matakali sebagai pendukung terbitnya buku ini menyebut bahwa, sandeq, adalah puncak evolusi perahu cadik dunia, bukan hanya sejarah tapi masih ada saat ini. Dia juga menyebut bahwa sandeq bisa dikatakan telah menunjukkan “revolusi” atas konstruksi sandeq yang sebelumnya.

Ada banyak pujian bagi sandeq dengan menyebut bahwa sandeq adalah ikon pariwisata Sulawesi Barat dan satu-satunya kebudayaan mandar yang menasional.

Horst E Liebner peneliti asal Jerman menyebut dan mengapresiasi sandeq sebagai cerita yang bermula dari saat pertama kali dia melihat kelincahan sandeq pada tahun 1989. Dia kemudian datang meriset pada tahun 1994 di Cilallang danTanangan – riset pembuatan dan pelayaran sandeq. Yang menarik ternyata, gagasan lomba sandeq bermula pada tahun 1995, saat itu dia menceritakan bahwa ide perlombaan itu muncul saat dia bertanya kepada salah seorang pembuat perahu, “Apa yang bisa dilakukan untuk mngangkat sandeq ini?” Sang pembuat kemudian menyahut, “lomba sandeq”.

Tanggapan Ahli

Diskusi dimulai pada pukul 14.30 di lantai 5 Gedung PKP Universitas Hasanuddin. Terdapat tiga puluhan peserta yang datang dari berbagai fakultas di Universitas Hasanuddin. Hadir pula Abigail Moore, salah seorang Inggris yang saya kenal sepuluh tahun lalu yang kali ini datang, dari Kota Palu mewakili salah satu LSM di sana.

Saya beruntung karena kali ini saya duduk bersebelahan dengan Dr. Edward Paelinggomang. Beliau adalah salah seorang ahli sejarah dari Unhas. Doktor Edward mengutip anggapan penulis yang menyebut sandeq sebagai puncak kebudayaan, serta hadirnya buku ini sebagai “mengisi kekosongan referensi sandeq”. Dalam buku ini, ada gambaran tren kemerosotan jumlah perahu sejak awal lomba menjadi hanya 37 perahu yang masih bertahan.

“Ada kesan, bahwa penulis takut sekali, sandeq akan terlupakan oleh masyarakat” Ungkap Dr Edward.

Bagi Dr Edward, berbicara tentang sandeq berarti membicarakan “marine society”. Jika dahulu budaya maritime identik dengan infrastruktur pesisir seperti dermaga atau Bandar. Budaya maritim saat ini lekat dengan yang non fisik. Ini juga tidak bisa dilepaskan dari interaksi atau adanya diaspora, terjadi campuran budaya.

Buku ini menarik karena pada bab 2 yang menyoal perlombaan sandeq, terlihat jelas ada keterkaitan emosional antara penulis dengan sandeq. Penulis terlibat dan aktif untuk ikut dalam lomba serta menuliskan kesan dan suasana di atas sandeq.

“Ini tentu hal yang sangat kuat yang bisa mempertegas bahwa proses kreatif buku ini sangat menarik” Kata Dr Edward.

Namun demikian ada satu cerita yang bagi Dr Edward, terlupa oleh penulis yaitu saat ada misi akademik ke Brunei Darussalam lalu ke Singapura yang menggunakan sandeq. Hal ini akan sangat menarik dikupas tentang motif kebudayaan itu sebab saat kembali ke Indonesia yaitu Semarang, para awak kemudian meninggalkan sandeqnya dengan kembali menggunakan pesawat.

Dr Edward juga menilai bahwa memang, Mandar dalam spektrum kesejarahan telah memegang peranan penting. Bahkan menurut beliau, cikal bakal pelayaran pertama di Sulawesi ada di Mandar. Mandar menjadi gerbang, saat itu Makassar (atau Gowa) setelah Belanda berkuasa hanya menjadi pengaman saja.

Bahkan Karaeng Gowa, “Tumaparisika Kallongna” sebenarnya keturunan Mandar dan mengubah kerajaan itu dari agraris ke maritim. Bahkan dalam lontarak disebutkan bahwa Gorontalo adalah bagian dari Mandar. Hal lain yang jadi penguat adalah saat itu, setelah runtuhnya Gowa, perdagangan maritim di Makassar tidak berkembang, yang maju saat itu adalah Sidenreng.

Disebutkan juga bahwa konon cerita pembuat perahu di Bira bermual dari satu kampung di Tallo sebagai tempat pembuatan perahu dan lama kelamaan pada tahun 1800 kemudian dipindahkan ke Bira (sekarang Bulukumba). Hal-hal seperti ini dapat men jadi bukti dinamika kebudayaan maritim saat itu dan bisa jadi berimplikasi pada kreasi alat transportasi dan ekonomi kawasan itu.

Perspektif sejarah yang disampaikan Dr Edward dalam review buku SPTN karya Iwan ini sangat luas, banyak hal-hal baru yang disinggungnya seperti kebudayaan Mandar hubungannya dengan karakter manusia Bajau, Pemanfaatan sumberdaya laut yang semakin bergerak ke modernisasi teknologi, tinjauan regional Sulawesi Barat kaitannya dengan kerajaan di Sulawesi Selatan hingga praktek kolonialisme dan pergeseran nilai-nilai sosial dan ekonomi.Kesemuanya berdampak pada adanya modifikasi alat bantu warga dimana salah satunya adalah sandeq itu sendiri.

Terdapat lima orang peserta yang menanggapi isi dan aspek yang terkait dengan sejarah sandeq ini. Kelimanya menyorot urgensi perlombaan, cikal bakal kebudayaan Mandar dan berbagai aspek teknis sandeq seperti modifikasi dan “sesuatu yang hilang” dari revitalisasi sandeq. Semuanya dijawab lugas oleh penulis dan Dr Edward.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa dalam lomba sandeq 2007 terdapat hal yang aneh dan menyimpang, badan sandeq yang berlomba sudah tidak berciri semestinya yang ditunjukkan oleh “kamar” yang tidak bisa lagi dilewati dengan leluasa. Lihat halaman 87. Ini semakin mempertegas bahwa dengan alasan kecepatan, telah membuka kemungkinan untuk semakin memodifikasi perahu sandeq.

Bagi saya, ada beberapa pertanyaan yang masih harus dijawab oleh buku ini, diantaranya relevansi antara kecepatan, lomba, ciri lokal dan kaitannya dengan daya tahan sandeq sebagai bagian dari pemanfaatan sumberdaya kelautan.

Walau masih terdapat beberapa kekurangan seperti kesalahan pengetikan dan tidak lengkapnya bahasa (Mandar, Indonesia) pada setiap bagian yang disebutkan, seperti kata “balakang” namun bagi Dr Edward, buku ini sangat penting dibaca baik bagi aparat pemerintah daerah dan pemerhati kebudayaan maupun siapa saja. Buku ini menjadi berbeda karena kedalaman riset dan waktu yang disiapkan oleh penulis demi mengangkat salah satu khasanah kebudayaan Mandar.

Saat menutup sesi ini saya kemudian mengutip Horst tentang “tradisi bukanlah sesuatu keadaan yang statis, tetapi suatu kesatuan dari segala aspek kehidupan kita yang akan berfaedah “jika” didasarkan pada keutuhan dan kesatuan pengetahuan”.

Bagi saya, sandeq adalah juga bukti yang mempertegas adanya tarik menarik kepentingan antara tradisi masyarakat pesisir yang dahulunya “subsisten” yang hanya menangkap ikan untuk dimakan, pada jarak dekat yang kemudian dimodifikasi. Sandeq menjadi sarana produksi, semisal ada sandeq yang mulai bermesin dan semakin luas jangkauan operasinya karena dipacu untuk menghasilkan tangkapan dan keuntungan semaksimal mungkin. Sandeq yang dimodifikasi dari “pakur” bisa jadi awal mula pergeseran kepentingan itu.

Pada saat sandeq diperlombakan dan dipacu dengan gesit oleh para pelaut dan pemilik modal (pembuatan sandeq untuk ikut lomba, rupanya menelan dana puluhan bahkan ratusan juga) tentu juga menyimpan dimensi yang menarik untuk didiskusikan namun dalam buku ini gambaran tentang siapa saja mereka yang “getol” menggelontorkan dana membangun sandeq belum sempat dibahas.

Terlepas dari itu, Muhammad Ridwan Alimuddin, dalam bukunya ini berhasil mengupas luar dalam ihwal perahu sandeq namun terdapat pertanyaan besar yang layak dibawa pulang, “untuk mengabadikan kekhasan dan nilai sosial yang terkandung dalam sandeq, apakah hanya dengan mengadakan perlombaan? Mengukur kecepatan semata? Atau mendorong transformasi nilai kebaharian pada hidup masyarakat pesisir Mandar dan Indonesia pada umumnya?

Makassar 13/11/2009

3 thoughts on “Cerita Dari Bedah Buku, "Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara"

  1. Sandeq adalah perahu tradisonal tercepat yang pernah ada di Austronesia. Menurut peneliti asal Jerman Horst H Liebner, perahu Sandeq dikenal memiliki ketangguhan dalam menghadapi angin dan gelombang saat mengarungi laut lepas. Katanya sih 🙂

    Like

  2. saat ini sandeq bukan lagi milik nelayan, tapi milik para politisi, peneliti, dan touris. sandeq tidak sama seperti dulu, sekarang sudah menjadi komoditas tontonan

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.